BALI PADA MASA BALI KUNO

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Bali merupakan daerah perkembangan agama Hindu. Perkembangan agama hindu di Bali sangat kental bahkan sampai saat ini penduduk Bali mayoritas penganut Hindu. Dilihat dari perkembangannya, Bali tidak pernah terlepas dari kepercayaan Hindu.  Bali menyimpan banyak sejaah baik itu berupa kerajaan-kerajaan, prasasti-prasasti, peninggalan sejarah yang berupa candi, patung dan yang lainnya, juga terdapat kebudayaan-kebudayaan yang tidak bisa terlepas dan ditinggalkan sampai saat ini.

Cakupan Bali sangat luas tidak hanya tentang Hindu saja. Bali berkembang dari zama prasejarah bahwan sampai saat ini masih tetap ada. Dilihat dari perkembangannya pada masa prasejarah, Bali tidak jauh beda dari daerah-daerah yang lain, khususnya yang ada di Nusantara. Dilihat dari keseharian masyaratak Bali pada masa Prasejarah, Bali secara teknlogi masih menggunakan artefak Batu, artefak Tulang, Gerabah, dan artefak logam. dari aspek ekonomi masyarakat Bali pada masa Prasejarah melakukan aktivitas berburu dan meramu tingkat sederhana, meramu tingkat lanjut, bercocok tanam, dan juga melaksanakan pertukaran atau berdagang. Masa ini juga masyarakat Bali sudah menerapkan seni dan memiliki sistem kepercayaan.

Selanjutnya berkembang pada masa Bali Kuno. Pada masa ini Bali sudah adanya perkembangan pemerintahan berupa kerajaan. Pada masa ini sudah sangat maju dibandingkan dengan Bali pada masa Prasejarah, karena pada masa Bali Kuno sudah mengenal tulisan, dengan ditemukannya banyak prasasti yang sudah menggunakan tulisan Bali Kuno. dan mempunyai sistem pemerintahan yang teratur dan dipimpin oleh Raja. Pada masa ini juga, semua sistem kemasyarakatan sudah diatur, baik itu dari segi sosial, politik maupun ekonomi. Oleh karena itu pengetahuan tentang Bali sangatlah peting, dan dalam makalah ini akan dibahas tentang Bali pada Masa Bali Kuno.

1.2  Rumusan Masalah

Dalam menulis suatu makalah, rumusan masalah sangatlah penting, dengan adanya rumusan masalah dapat diketahui inti persoalan sehingga dapat mengarahkan dan menegaskan dalam penulisan suatu makalah. Maka dari itu keputusan masalah dalam makalah ini  berdasarkan latar belakang diatas adalah sebagai berikut:

1.      Bagaimanakah Pemerintahan Raja-raja Bali Kuna?

2.      Bagaimanakah Aspek Sosial Masyarakat Bali Kuno?

1.3  Tujuan Penulisan

Setiap aktivitas yang dilakukan oleh seseorang tentunya mempunyai tujuan yang sesuai dengan jenis kegiatan yang dilakukan. Apabila kegiatan yang dilakukan tidak mempunyai tujuan, maka kegiatan tersebut tidak akan terarah. Tujuan dalam penulisan makalah ini, berdasarkan rumusan masalah diatas, yaitu:

1.      Untuk mengetahui Bagaimanakah Pemerintahan Raja-raja Bali Kuna.

2.      Unuk Mengetahui Bagaimanakah Aspek Sosial Masyarakat Bali Kuno.


 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1              Pemerintahan Raja-raja Bali Kuna

2.1.1        Periode Singhamandawa

Sebelum dinasti Warmadewa muncul sebagai pemegang kekuasaan, rupa-rupanya di Bali telah terbentuk suatu lembaga pemerintahan atau kerajaan yang berpusat di Panglapuan di Singhamandawa. Selama rentan waktu sekitar 30 tahun, yakni antarasaka 804 dan saka 836 (882-995 M) disebut periode Singhamandawa. Hampir semua prasasti yang terbit selama periode ini dikeluarkan di lembaga Panglapuan/Panglapwandi Singhamandawa. Sampai saat ini ditemukan 7 prasasti berbahasa Bali Kuno, yakni prasasti Sukawana A1 (804 Saka), Babetin A1 (818 Saka), Trunyan A1 (833 Saka), Trunyan B (833 Saka), Bangli, Pura Kehen A, Gobleg, Pura Desa I (836 Saka) dan Angsari A. Ketujuh prasasti tidak memuat nama Raja atau pejabat yang mengeluarkannya. Prasasti-prasasti tersebut pada intinya memuat tentang perhatian raja terhadap bangunan suci dan kesejahteraan rakyatnya.

Prasasti Sukawana A1 berisi tentang pengembalian fungsi kesucian Ulan (semacam bangunan suci) di wilayah perbukitan Cintamani (sekarang Kintamani). Tampaknya, Ulan itu sempat digunakan sebagai tempat peristirahatan bagi orang0orang yang berlalu-lalang di kawasan tersebut. Prasasti ini juga berisi tentang ketetapan pembebasan para bhiksu dari tugas dan pajak-pajak tertentu, serta aturan pembagian harta warisan bagi pasangan suami istri.

Selanjutnya prasasti Babetin AI berisi tentang perhatian raja terhadap desa (Banwa) bharu, karena des tersebut telah diserang atau dirusak oleh perampok , sehingga banyak penduduknya mati terbunuh atau teluka dan banyak pula yang mengungsi ke desa-desa tetangga.

Desa Bharu rupanya terletak di pesisir pantai utara pulau Bali dan merupakan salah satu pelabuhan yang ada pada waktu itu. Dugaan terakhir ini didasarkan atas adanya ketentuan yang mengatur saudagar-saudagar dari luar yang berdagang di sana dan perahu-perahu yang mengalami kerusakan termuat dalam prasasti itu.

Prasasti Trunya AI dan  Trunyan B. Isi kedua prasasti tersebut hampir sama khususnya pada lembaran Ib-Iia.4. keduanya mengenai izin yang diberikan oleh Raja kepada penduduk Desa Turunan untuk mendirikan bangunan suci bagi Bhatara Da Tonta. Penduduk wajib membayar iuran dan melaksanakan kewajiban-kewajiban tertentu untuk keperluan bangunan suci itu.

Dalam prasasti Trunyan B antara lain memuat perihal iuran yang wajib dibayar oleh penduduk desa Air Rawang (Desa Abang) yang terletak di sisi timur Danau Batur untuk keperluan upacara Sang Hyang di Turunan. Di sana disebutkan pula bahwa setiap bulan Bhadrawada (Agustus- September), Bhatara Da Tonta harus disucikan dengan air Danau Batur, kemudian dibedaki kuning, dihiasi dengan cincin permata dan anting-anting. Petugas yang berwenang melaksnakan hal-hal itu adalah Sahayan Padang dari Desa Air Rawang.

Prasasti Pura Kehen A menyebutkan tentang perhatian raja kepada bangunan suci (Dang udu) Hyang Karimama yang berada di desa Simpat Bunut. Bangunan suci itu tampaknya sempat kurang terurus

Perhatian raja sangat besar terhadap bidang spiritual keagamaan yang juga termuat dalam prasasti Gobleg, Pura Desa I yang berangka tahun 836 Saka (914 M). Dalam prasasti ini disebutkan bangunan suci di Bukittunggal yang bernama Indrapura, yang berada di wilayah Desa Air Tabar, agar diperbaiki dan diperluas sesuai dengan rencana.

Prasasti Angsari A walaupun keadaannya sangat aus, tetapi pada bagian yang masih terbaca dapat diketahui antara lain nama bangunan suci Hyang Api dan Hyang Tanda, yang mendapat persembahan bagian harta warisan keluarga yang tidak mempunyai keturunan.

2.1.2        Pemerintahan Dinasti Warmadewa  dan Rajakula lain

Munculnya dinasti Warmadewa merupakan babak baru dalam panggung peristiwa sejarah Bali. Raja yang pertama menggunakan gelar Warmadewa ialah Raja Sri Kesari yang dimuat dalam beberapa prasasti yang dikeluarkan pada masa pemerintahannya. Prasasti-prasasti yang menyebut nama Raja itu, yakni Prasasti Blanjong (835 Saka), Prasasti Penempahan, dan Prasasti Malet Gede (835 Saka). Walaupun kondisi prasasti-prasasti sudah au, tetapi nama raja yang disebut di dalamnya masih dapat dibaca.

Berdasarkan kenyataan itu, maka dapat dikatakan bahwa Sri kesari merupakan cikal bakal dinast (vamuakara) Warmadewa di Bali. Raja-raja dari dinasti ini, sebagaimana akan diketaui, berkuasa di Bali paling sedikit selama satu abad, yakni sejak awal abad X sampai awal abad XI. 

Setelah raja Sri Kesari Warmadewa yang memerintah Bali adalah Sang Ratu Sri Ugrasena. Raja Ugrasena mengeluarkan prasasti-prasastinya tahun 837-864 Saka (915-942 M). Masa pemerintahan raja ini hampir sezaman dengan masa pemerintahan Mpu Sindok di Jawa Timur. Sedikitnya ada 9 buah prasasti yang dikeluarkan oleh raja Ugrasena, dan semuanya berbahasa Bali Kuno. Prasasti-prasasti yang dimaksud adalah  prasasti Srokadan (837 Saka), Babahan I (839 Saka), Sembiran A I (844 Saka), Pengotan A I (846 Saka), Batunya A I (855 Saka), Dausa, Pura Bukit Indrakila A I (857 Saka), Serai A I (858 Saka), Dausa, Pura Bukit Indrakila B I (846 Saka), dan Gobleg, Pura Batur A.

Berdasarkan prasasti-prasasti itu dapat diketahui, bahwa kebijakan raja ini hampir sama dengan pendahulunya. Beberapa kebijakan yang telah diambil antara lain, keringanan dalam pembayaran pajak diberikan kepada desa Sadungn  dan Julah, karena desa tersebut belum pulih benar dari kerusakan akibat diserang perampok. Demikian pula halnya dengan Desa Kundungan dan Silihan, penduduk dari kedua desa tersebut dibebaskan dari kewajiban bergototng royong  untuk raja. Dan menetapkan jenis pajak yang mesti dibayar oleh penduduk.

Setelah mangkat, diduga raja Urrasena dicandikan di Air Madatu dan dikenal dengan sebutan Sang Ratu Sang Siddha Dewata Sang Lumrah di Air Madatu. Gelar/julukan ini terbaca dalam prasasti Raja Tabanendra Warmadewa yang ditemukan di Desa Kintamani yaitu prasasti Kintamani A. Dalam Prasasti itu dikatakan bahwa raja Tabanedra, bersama-sama dengan permaisurinya, menyuruh sejumlah tokoh agar memugar dan memperluas pesanggrahan di Air Mih yang dibangun pada masa pemerintahan raja dengan julukan diatas.

 Pengganti Raja Ugrasena adalah Sang Ratu Sri Haji Tabanendra Warmadewa yang memerintah bersama-sama dengan permaisurinya, yaitu Sri Subhadrika Dharmadewi, pada kurun waktu tahun877-889 Saka (855-977). Sedikitnya ada 4 prasasti yang memuat raja suami-istri itu, yakni prasasti-prasasti Manik Liu A I (877 Saka), Manik Liu B I(877 Saka), Manik Liu C (877 Saka), dan Kintamani A (899 Saka). Keempat prasasti itu tidak lengkap. Ketiga prasasti Mnik Liu itu selain ditemukan di tempat yang sama juga berkenaan dengan masalah pokok yang sama, yaitu pemberian izin oleh raja kepada Samgat Juru Mangjahit Kajang dan anak bandat yang berdiam di Desa Pakuwwan dan Talun. Mereka dibebaskan dari tugas bergototng royong dan pajak, kecuali pajak rot.

Pengganti raja Tabanendra Warmadewa ialah Sang Ratu Sri Jayasingha Warmadewa. Raja ini dapat diketahui dari sebuah prasasti, yaitu prasasti Manukaya (882 Saka). Dalam prasasti tersebut tersurat bahwa baginda raja menaruh perhatian besar terhadap patirtaan di Air Ampul, dan raja memerintah untuk memugar Tirta di (Air) Mpul (Sekrang Tirta Empul di Tamak Siring). Hampir setiap tahun patirtaan tersebut mengalami kerusakan akibat terkikis air karena banjir. Hal menarik ialah ternyata prasasti tersebut jika dilihat dari tahunnya telah terbit pada masa pemerintahan raja Tabanendra bersama permaisurinya. Masalah ini belum dapat dijelaskan dengan bukti-bukti yang akurat mengapa hal tersebut terjadi.

Raja berikutnya bergelar Sri Ratu Sri Janasadhu Warmadewa, satu-satunya prasasti atas nama beliau adalah prasasti Sembiran A II (897 Saka). Prasasti tersebut kembali mengenai desa Julah yang kembali dari pengungsinya diizinkan memperbaharui isi prasastinya. Ketentuan itu harus dipatuhi dan tidak diubah-ubah lagi. Dalam prasasti itu, antara lain ditetapkan jika ada kuil, kuburan, pancuran,permandian, prasada dan jalan raya di wilayah itu mengalami kerusakan supaya diperbaiki serta dibiayai secara bergilir oleh penduduk Julah, Indrapura, Buwundalem, dan Hiliran.

Pengganti raja Janasadhu Warmadewa adalah seorang ratu yakni Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Satu-satnya prasasti sebagai sumber sejarah ratu ini adalah prasasti Gobleg, Pura Desa II (905 Saka). Ratu ini memberi izin kepada penduduk desa Air Tabah, yang bertugas memelihara kuil Indrapura  di  Bukittunggal di wilayah desa itu untuk memperbaharui prasastinya. Beliau tidak menggunakan gelar Warmadewa sehingga mengundang timbulnya sejumlah pertanyaan. Berdasarkan ungkapan Sri Wijaya dalam gelar sang ratu P.V. Van Stein Callenfels (1924:30) berpendapat bahwa kemungkinan ratu berasal dari kerajaan Sriwijaya di Sumatera. Dengan kata, hal ini menunjukkan adanya perluasan kekuasaan Sriwijaya ke Bali.

Pada tahun 1950 dalam artikelnya yang berjudul “De Stamboom van Erlangga” J.L. Moens menghubungkan ratu itu dengan kerajaan Jawa Timur (1950:138). Damais secara lebih tegas mengemukakkan bahwa ratu itu adalah putru Pu Sindok yang bernama Sri Isana Tunggawijaya. Pendapat itu didasarkan pada adanya jabatan-jabatan wadihati, makudur, dan pangkaja yang disebutkan dalam prasasti ratu tersebut, di samping sejumlah jabatan tinggi yang telah lazim di Bali. Ketiga jabatan tersebut adalah khas Jawa (1951:85-86;1955:227). Ratu  Sri Wijaya Mahadewi diperkirakan wafat pada tahun 911 Saka (989). Tumpuk pemerintahann di Bali kemudian dipegang oleh pasangan Sri Gunapriyadharmapatni dan Sri Dharmodayana Warmadewa.

Kiprah raja suami istri ni termuat di dalam beberapa prasasti, yakni prasasti Babetin A (911 Saka), Prasasti Serai AII (915 Saka), prasasti Buwahan A (916 Saka), dan prasasti Sading A (923 Saka). Dari keempat prasasti tersebut siketahui bahwa raja suami istri tersebut sangat memperhatikan nasib rakyatnya.dalam prasastiBabetin A (818 Saka) disebutkan Desa (Banwa) Bharu kembali mengalami perampokan sehingga kondisinya menjadi sangat lemah.Raja suami istri itu pun memberikan keringanan dalam sejumlah kewajiban kepada desa tersebut. Kebijakan itu termuat dalam prasasti Serai AII.  Dalam prasasti Buwahan A tersurat raja mengabulkan permohonan dewa Bwahan lepas dari desa induknya.

Kebijakan lainnya termuat dalam pasasti Sading A terhadap kondisi Desa Bantiran. Kebijakan tersebut diturunkan karena banyak penduduk desa yang terpaksa meninggalkan rumahnya menggungsi ke desa lain, karena ulah tamu yang datang di desa itu berlaku tidak sopan dan menimbulkan kekcauan. Setelah keadaan aman penduduk desa Bnatiran disuruh kembali ke desanya.

Pada tahun 993 Saka terbit sebuah prasasti atas nama Udayana sendiri, tanpa permaisurinya, yakni prasasti Batur, Pura Abang A. Rupanya Gunaprriyadharmapatni mangkat tidak lama sebelum tahun 993 Saka. Dalam prasasti tersebut disebutkan bahwa wakil-wakil desa Air Rawang (Abang) menghadap raja Udayana, menyampaikan bahwa karena kelemahan kondisi desanya, penduduk tidak mampu memenuhi persyaratan pembayaran pajak tertentu dan tidak dapat ikut bergotong-royong atau kerja baktiuntuk raja.

Selai prasasti tersebut, masih ada 5 prasasti singkat yang trbit atau diduga terbit sebelum Udayana turun tahta, yaitu prasasti-prasasti Besakih, Pura Batumadeg, Ujung, Pura Dalem (923 Saka), Gunung Penulisan A (933 Saka), Gunung Penulisan B, dan Sangsit B (933 Saka). Setelah mangkat Gunapriyadharmapatni dicandikan di Burwan, dan Udayana yang diduga mangkat tidak lama setelah tahun 933 Saka dicandikan di Banu Wka.

Raja Suami istri tersebutkemudian digantikan oleh Ratu Sri Sang Anjadwi yang mengeluarkan prasati Sembiran A III pada tahun 938 Saka. Sampai saat ini belum terdapat petunjuk jelas mengenai ratu ini dengan pendahulunya, begitu pula hubungannya dengan tokoh lain. Dalam mengupayakan penjelsannya, akan dilihat kembali bagian berbahasa Jawa Kuno pada prasasti Pucangan. Dari bagian itu dapat dietahui bahwa pada tahun 938 Saka (1016) kerajaan yang diperintah Dharmawangsa Teguh di Jawa Timur diserang oleh raja Wurawari sehingga mengalami malapetaka mahahebat (pralaya). Serangan itu bertepatan dengan pernikahan Airlangga dengan Putri Dharmawangsa Teguh. Airlangga yang baru berumur 16 tahun dapat menyelamatkan diri dengan lari ke hutan diringi oleh pengikutnya yang setia yaitu Narottama. Tahun Pralaya itu bertepatan juga dengan munculnya Ratu Sri Sang Anjadewi sebagai pemegang tampuk pemerintahan di Bali.  Untuk memecahkan masalah lowongnya tahta kerajaan Bali keluarga Istana rupanya sepakat mengangkat seorang wali, yaitu Ratu Sri Sang Anjadewi.

Satu-satunya prasasti yang dikeluarkan Ratu itu adalah prasasti Sembiran A III, yang didalamnya memuat kembali keberadaan desa Julah. Dikatakan bahwa desa ini kembali diserang oleh penjahat.

Ratu Sri Sang Anjadewi kemudian digantikan oleh Raja Marakata, gelar lengkapnya adalah Paduka Haji Sri Dharmwangsawardhana Marakatapangkajasthanottunggadewa, dengan mengeluarkan prasastinya pertama pada tahun 994 Saka, yakni prasasti Batuan. Prasasti-prasasti lain yang memuat gelar raja itu ialah prasasti Sawan AI=Bila I (945 Saka), Tengkulak A (945 Saka), dan Buwahan B (947 Saka). Pada masa pemerintahannya, raja Marakata mengeluarkan kebijakan mengijinkan desa Batuan berpisah dari desa Sukhawati, selanjutnya membebaskan beberapa jenis pajak. Selin prasasti itu masih ada sejumlah prasasti singkat yang terbit pada masa pemerintaha raja Marakata, yaitu prasasti Kesian, Pura Sibi I (945 Saka), Kesian, Pura Sibi II (948 Saka), Kesian, Pura Sibi III (948 Saka), Kesian, Pura Sibi IV, dan Bangli, Pura Kehen B.

Setelah pemerintahan Marakata, selanjutnya digantikan oleh adiknya yaitu Raja Anak Wungsu yang memerintah tahun 971-999 Saka (1049-1077 M). Gelarnya sebagai raja, begitu pula nama kecil tokoh ini sesungguhnya tidak diketahui secara pasti, kecuali hendak diyakini Anak Wungsu juga merupakan nama kecil tokoh itu.

Raja Anak Wungsu memerintah di Bali cukup lama, bahkan terlama dari raja-raja pada zaman Bali Kuno. Yakni selama tidak kurang dari 28 tahun. Ada 31 prasasti dikeluarkannya, atau yang dapat diidentifikasi sebagai prasasti-prasasti yang terbit pada masa pemerintahannya. Masa pemerintahanyang lama dan prasasti yang dikeluarkan cukup banyak dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa raja itu memerintah dengan bijaksana dan kerajaan dalam keadaan stabil.  Dugaan itu ditunjang pula oleh sejumlah ungkapan yang terbaca dalam prasasti, yang intinya menyatakan kepekaan serta kearifan Anak Wungsu dalam melaksanakan pemerintahan.

Raja Anak Wungsu digantikan oleh Sri Walaprabhu yang memerintah tahu1001-1010 Saka (1071-1088 M). Gelar lengkap raja ini berbunyi Sri Maharaja Sri Walaprabhu, terbaca dalam prasasti Babahan II. Prasasti Ababi A dan Klandis adalah prasasti yang dikeluarkan oleh raja Walaprabhu. Perlu diperhatikan bahwa di antara raja-raja Bali Kuno, raja inilah yang pertama menggunakan gelar Maharaja setelah Ratu Sri Wijaya Mahadewi.

Pengganti Raja Sri Walaprabhu, yang naik tahta kerajaan Bali adalah paduka Sri Maharaja Sri Sakalendukirana Isana Gunadharma Lakumidhara Wijayotunggadewi. Gelar ini terbaca dalam prasasti prasasti: Pengotan B (1010 Saka), dan Pengotan B II (1023 Saka). Salah satu kebijakan ratu adalah menganugrahan prasasti kepada pejabat Nayakanjalan, diharapkan untuk dapat dijadikan pedoman pelaksanaan tugas dan kewajiban penduduk dibawah kewenangan pejabat tersebut.

Ratu Sakalendukirana diganti oleh Paduka Haji Sri Maharaja Sri Suradhipa. Baginda berkuasa tahun 1037-1041 Saka (1115-1119 M), dengan mengeluarkan prasasti Gobleg, Pura Desa III (1037 Saka), Angsari B (1041 Saka), ababi, dan Tengkulak D.

Setelah berakhir pemerintahan Raja Suradhipa, secara beruntun memerintah di Bali empat orang raja yang menggunakan unsur Jaya dalam gelarnya, yaitu Paduka Sri Maharaja Sri Jayasakti tahun 1055-1072 Saka (1133-1150 M), Paduka Sri Maharaja Sri Ragajaya tahun 1077 Saka (1155 M), Paduka Sri Maharaja Haji Jayapangus tahun 1099-1103 Saka (1178-1181 M), dan Paduka Sri Maharaja Haji Ekajayalancana beserta ibunya , yaitu Paduka Sri Maharaja Sri Arjaryya Dengjayaketana yang mengeluarkan prasatinya pada tahun 1122 Saka (1200 M).

Perlu diperhatikan bahwa masa pemerintahan keempat raja itu hampir sezaman dengan masa pemerintahan Raja-raja Jayabhaya (1057-1079 Saka, Sarweswara (1081 Saka), Aryeswara (1091-1093 Saka), Kroncacaryadhipa atau Gandra (1103 Saka), Kameswara (1101-1107 Saka), dan kertajaya atau Srengga (1116-1127 Saka) di kerajaan kadiri Jawa Timur. Hal yang menarik pula, sebagaimana telah dikatakan, adanya unsur jaya digunakan pada keempat gelar Raja Bali Kuno dan paling sedikit ada dua nama raja Kadiri tersebut diatas menggunakan unsur yang sama itu rupanya bukan semata-mata kebetulan, tetapi juga menunjukkan adanya hubungan kekerabatan di antara mereka.

Sejak berakhirnya kekuasaan Ekajayalancana sampai dengan akhir masa Bali Kuno, masih terjadi lima kali pergantian Raja. Secara berturut-turut dinobatkan Sri Wirama (1126 Saka), Adidewalancana (1182 Saka), Sri Mahaguru (1245-1247 Saka), Walajayakattaningrat (1250 Saka), dan Sri Astasura Ratnabhumibanten (1259-1265 Saka).

Sri Wirama, lengkapnya Bhatara Parameswara Sri Wirama tercantum dalam prasasti Bangli, Pura Kehen C (1126 Saka). Antara raja Sri Wirama (1126 Saka) dan raja berikutnya yaitu Bhatara Parameswara Hyang ning Hyang Adidewalancana (1182 Saka) terdapat masa kosong selama tidak kurang dari 56 tahun. Belum terdapat petunjuk mengapa hal itu terjadi.

 Tidak banyak dapat dikemukakan mengenai raja Adidewalancana. Baginda mengeluarkan sebuah prasasti, yaitu prasasti BulihanB (1182 Saka), yang dianugrahkan kepada wakil-wakil Desa Bulihan.

Kekosongan pemerintahan selama lebih kurang 64 tahun, yakni tahun 1182-1146 Saka (1260-1324 M), setelah masa pemerintahan raja Adidewalancana. Pada periode ini terbit hanya dua prasasti, yaitu prasasti Pengotan E (1218 Saka) dan Sukawana D (1222 Saka), atas nama Kbo Parud (Putra Ken Demung Sasabungalan). Tokoh itu berkedudukan sebagai Rajapatih, bukan sebagai Raja. Kedudukan Kbo Parud sebagai Rajapatih boleh jadi berlangsung sampai setelah Kertanegara dikalahkan oleh Raja Jayakatwang dari Kadiri, bahkan mungkin sampai pada masa masa awal kerajaan Majapahit. Kedudukan ini tampaknya baru berakhir setelah Bhatara Guru II (Bhatara Sri Mahaguru) dinobatkan sebgai Raja di Bali pada tahun 1246 Saka (1324 M), atau beberapa tahun sebelum penobatan itu. Hal ini sekaligus menyatakan bahwa Bali selama itu berada di bawah pengawasan kerajaan yang tengah berkuasa di Jawa Timur.

Ada tiga buah prasasti yang dikeluarkan oleh Bhatara Guru II( Bhatara Si Mahaguru), diantaranya yaitu: prasasti Srokadan (1246 Saka), Prasati Cempaga C (1246 Saka), dan prasasti Tumpu (1247 Saka).

Bhatara Guru II rupanya mangkat sebelum tahun 1250 Saka (328 M). Dugaan itu dikemukakan karena pada tahun 1250 Saka, sebagaimana tertera dalam prasasti Selumbung, yang memerintah di Bali adalah Paduka Tara Sri Walajayakatanngrat. Raja ini memerintah bersama-sama atau dibantu oleh ibunya yang bergelar Paduka Tara Sri Mahaguru. Mengingat kata Tara dapat berarti janda atau duda, disamping itu juga berarti istri atau suami. Maka dapat disimpulkan bahwa maksud paduka Bhatara Sri Mahaguru kemungkiinan besar adalah janda almarhum Bhatara Guru II.

Dari prasasti Selumbung yang disebutkan, dapat diketahui bahwa Raja Wala Jaykataningrat beserta ibunya memberi anugrah prasasti kepada tetua Desa Salumbung.dalam prasasti itu ditetapkan berbagai kewajiban yang harus ditunaikan oleh penduduk bagi bangunan suci Sang Hyang Candi ring Linggabhwana.

Kemudian Paduka Bhatara Sri Astasura Ratnabumibanten menggantikan Raja Walajayakattaningrat dan ibunya. Raja ini merupakan raja terakhir dari periode Bali Kuno. Gelar ini terbaca dalam prasasti Langgahan yang berangka tahun 1259 Saka. Prasasti ini mencatat bahwa tahun 1259 Saka raja menetapkan berbagai dawyahaji yang mesti dibayar oleh penduduk di wilayah pertapaan Langgaran. Pada bagian akhir prasasti tersebut terdapat sumpah kutukan (saphata) yang pada intinya mengharapkan agar orang-orang yang melanggar ketetapan dalam prasasti tersebut mendapat mala petaka setimpal. Selain prasasti tersebut ada lagi sebuah prasasti batu yang ditemukan di Pura Tegeh Koripan di puncak Gunung Penulisan yang menyebutkan nama raja ini. Hanya saja tulisannya sudah sudah sangat rusak, sehingga dari sembilan baris tulisan hanya sebagian kecil yang dapat dibaca. Gelar raja terbaca pada baris ke delapan, itu pun hanya sebagian, yakni “stasura ratnabumi(Banten)...

Setelah prasasti Langgahan dan prasasti Gunung Penulisanitu tidak lagi prasasti yang dikeluarkan atas nama raja ini. Bahkan prasasti ini seola-olah merupakan prasasti terakhir dari periode sejarah Bali Kuno. Oleh karena raja ini merupakan raja terakhir, maka Goris berpendapat bahwa Asta Asura identik dengan raja Bedahulu yang bernama Maya denawa. Dalam beberapa babad disebutkan bahwa raja Maya Denawa sudah merasa sakti dan tidak dapat dikalahkan oleh musuh, maka ia memeilih memutuskan hubungan dengan Majapahit yang rajanya berasal dari Ken Arok dan dikatakan sebagai orang gunung bekas kepala perampok. Akhirnya, raja ini iserang dan dikalahkan oleh tentara Majapahit di bawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada yang dibantu oleh para arya dari Kadiri. Dengan ditaklukkannya kerajaan Bedahulu oleh Majpahit tahun 1265 Saka (1343 M), maka muncullah dinasti baru yang memerintah Kerajaan Bali (Bli rajya), yakni dinasti Kepakisan dengan raa pertam ialah Dalem Sri Kresna Kepakisan.   

 

 

 

 

 

1.3 Aspek Sosial Politik

1.3.1 Wilayah

Bali pada masa lampau merupakan satu kesatuan wilayah kerajaan yang berdaulat, otonom, menjalankan pemerintahan tersendiri terlepas dari ikatan-ikatan birokrasi dengan kerajaan lain. Itu terlihat dari beberapa ungkapan yang di temukan dalam prasasti antaralain, prasasti berbahasa sansekerta yang ditemukan di Desa Pejeng Gianyar, salah satu prasasti tersebut berangka tahun 875 Saka atau 953 Masehi yang menyebut nama Sri Walipuram. Walipuram mengandung arti bahwa Bali merupakan suatu kerajaan.

Penataan wilayah kerajaan dalam arti pembagian wilayah administratif pada waktu itu terlihat sangat sederhana, hanya ada wilayah tingkat pusat dan wilayah tingkat desa. Dari sejumlah wilayah kerajaan disebut Kedatwan/Kedatuan yang dapat diartikan kerajaan atau wilayah kerajaan. Untuk mendapatkan gambaran yang berkaitan dengan luas wilayah kerajaan yang dikuasai oleh raja-raja Bali Kuno agak sulit. Namun berdasarkan beberapa data arkeologis, lokasi temuan prasasti dan informasi yang dimuat dalam prasasti, rupa-rupanya wilayah Kerajaan Bali meliputi seluruh daerah daratan Pulau Bali dan daerah laut yang berada di sekelilingnya.

 

1.3.2 Kedudukan Raja

Di dalam kitab Manawa Dharmasastra buku VII: 1-8 disebutkan sifat raja sama dengan sifat-sifat para dewa dan kekuasaan raja sama dengan kekuasaan para dewa. Oleh karena itu kekuasaan raja melebihi makhluk-makhluk lain yang ada di dunia. Pada ayat enam dari buku itu diperjelas lagi, bahwa kekuasaan seorang raja ibarat sinar matahari, tidak dapat ditangkap oleh mata. Ini berarti kekuasaan raja tidak dapat ditentang dan segala perintahnya harus ditaati oleh rakyat.

Berkat kemahakuasaan seorang raja, maka sifat dan kekuatan yang harus dimiliki sebagai kepala pemerintahan hendaknya sesuai dengan sifat dan kekuatan yang dimiliki oleh para dewa penjaga dunia yaitu : Agni (dewa api); Bayu (dewa angin); Surya (dewa matahari); Candra (dewi bulan); Dharma (dewa keadilan); Kuwera atau Kubera (dewa harta atau kekayaan); Waruna (dewa laut atau air); Indra (dewa perang). Raja juga mempunyai kewajiban kepada rakyat untuk menjaga keamanan dan ketertiban, menjaga dari serangan musuh baik dari dalam maupun dari luar.

1.3.3 Birokrasi

Telah disebutkan diatas bahwa raja menduduki lapisan kekuasaan teratas dalam sistem pelapisan kekuasaan pada masa lampau. Dengan kedudukannya tersebut maka raja dengan segala eksistensi yang dilimiki merupakan pemegang tampuk pemerintah dalam negara monarki, seperti terlihat dalam masyarakat bali kuno. Walaupun demikian berdasarkan sejumlah prasasti yang telah ditemukan dapat dikatakan bahwa raja tidak bersifat otoriter. Dalam menjalankan pemerintahannya raja berkonsultasi dengan lembaga tinggi kerajaan atau badan penasehat pusat, para pemuka agama dan pejabat tingkat desa yang kesemuanya itu merupakan perangkat pemerintahan dan pembentuk suatu sistem tersendiri. Dikarenakan demikian, karena setiap unit perangkat tersebut saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain. Namaun untuk mengetahui jalannya pemerintahan terutamanya yang berkaitan dengan garis konsultasi dan garis komando, demikian juga halnya dengan gambaran struktur birokrasinya agak sulit untuk dikemukakan dengan tuntas karena sumber-sumber yang berkaitan dengan hal tersebut masih kurang.

Raja sebagai pemegang pucuk pemerintahan dibantu oleh sejenis lembanga tinggi kerajaan atau badan penasehat pusat. Lembanga tersebut pada masa pemerintahan raja Udayana disebut dengan istilah Pasamaksa (dalam prasasti Bwahan A); Pakirakiran (dalmam prasasti Sading A); dan Pakirakiran i jro makabehan (dalam prasasti Abang A). Lembaga tersebut beranggotakan sejumblah senapati sejumlah samgat sejumlah pendeta siwa dan pendeta budha

a.       Kelompok Senapati

Senapati adalah jabatan yang berfungsi sebagai panglima perang atau mahapati

b.      Kelompok Samgat

Kelompok ini biasanya disebutkan setelah kelompok senapati dan terdiri atas beberapa jabatan. Seperti halnya jabatan senapati tugas dan wewenang jabatan samgat belum diketaui dengan pasti.

c.       Kelompok Pendeta Siwa/Hindu dan Budha

Kehadiran kelompok rohaniawan dakam pemerintahan suatu kerajaan sangat penting karena selain sebagai petugas keagamaan juga berfungsi sebagai saksi dalam persidangan kerajaan untuk menetapkan suatu keputusan juga dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat membantu dan memperkokoh kedudukan raja.

d.      Dhikara

Jabatan yang dapat disejajarkan dengan hakim dan sekaligus sebagai kepala pengolah suatu lembaga peradilan

e.       Jabatan Ser

Dalam periode itu ditemukan beberapa jabatan ser seperti ser pasar, ser danu ser kranan, dimana ser diartikan sebagai kepala, ser pasar kemungkinan bertugas sebagai kepala pasar, ser danu sebagai kepala danau, ser kranan jabatan yang mengurus warisan orang-orang yang tidak mempunyai keturunan setelah mereka meninggal dunia.

f.       Nayaka

Pejabat yang memelihara dan mengurus tempat suci.

g.      Caku

Petugas kerajaan sebagai pemungut pajak .

h.      Sahaya

Jabatan ini belum jelas fungsinya dan wewenangnya kemungkinan sabagai pembantu umum.

i.        Juru

Jabatan ini belum jelas fungsi dan wewenangnya apabila dilihat dari arti katanya juru adalah orang yang ahli dalam suatu bidang, jabatan ini mungkin merupakan kepala yang mengkordinir para ahli.

j.        Hulu

Jabatan hulu yang ditemukan hanyalah hulu kayu dan hulu lapu, hulu kayu adalah jabatan yang mempunyai wewenangan sebagai kepala hutan dan hulu lapu belum jelas fungsi dan wewenangnya

 

k.       Tuhan

Dalam periode ini hanya ada satu jabatan tuhan yaitu tuhan lmah ing almah apa fungsi dan wewenang jabatan ini belum jelas.

l.        Paramadhyastha

Jabatan untu menangani atau menerima laporan tentang adanya kuda, lembu, dan manusia yang mati secara tidak wajar disuatu desa dan tidak di ketahui pemilik/keluarganya.

m.    Mpu sthapaka

Seorang arsitek atau pendiri suatu patung dan bangunan suci

n.      Ademmak/demak

Sebagai pengawas atau pengontrol pelaksanaan pemungutan pajak untuk raja.

1.3.4 Masyarakat

Rekontruksi kondisi masayarakat Bali pada masa lampau sukar dilakuakan, karena keterangan-keterangan yang diperoleh melalui prasasti-prasasti kurang mendukung kearah itu, disamping kelengkapan sumber-sumber yang terkait dengan masalah masalah tersebut.

Golongan dalam Masyarakat

Timbulnya golongan sosial dalam masyarakat pada dasarnya diawali dengan munculnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Kelas-kelas sosial timbul karena adanya  beberapa faktor seperti kekuasaan, kekayaan, kehormatan dan keahlian.

Pembagian golongan dalam masyarakat tampak lebih jelas sejak masa pemerintahan raja Anak Wunsu, landasan tersebut dilandasi oleh sistem kasta sehingga timbul dua golongan besar dalam masyarakat yaitu, golongan catur warna dan kahula (para budak) yang dikategorikan diluar warna. Nama-nama warna yang disebutkan dalam prasasti Bila yang berangka tahun 995 Saka atau 1073 Masehi yaitu, Brahmana, Ksatriya, Wesya, Sudra, Hulun/budak.

Warna Brahmana adalah golongan masyarakat yang mempunyai bakat kelahiran sebagai pemikir, menguasai ilmu pengetahuan suci dan dapat memimpin upacara keagamaan. Golongan masyarakat yang termasuk kategori ini adalah pemuka agama atau rohaniawan. Warna Ksatrya iyalah golongan yang mempunyai bakat kelahiran sebagai pemimpin negara/pemegang pemerintahan danpembela tanah air. Warna wesya iyalah golongan yang mempunyai bakat kelahiran untuk menyelenggarakan kemakmuran masyarakat seperti, pedagang dan petani. Warna Sudra adalah golongan masyarakat yang mempunyai bakat sebagai pelaku utama dalam pelaksanaan tugas-tugas yang dilakukan oleh ketiga warna tersebut.

2.2  Aspek Sosial Masyarakat Bali Kuno

2.1.1    Kelompok Sosial

Berbagai kelompok sosial diperkirakan telah ada pada Zaman Bali Kuno anatara lain sebagai berikut. Kelompok sosial yang bergerak di bidang pertanian (kasuwakan / subak), kelompok pertukangan (undahagi), kelompok pande, kelompok seniman, kelompok perajin, dan lain-lain. 

Terkait dengan keberadaan lembaga Subak, dalam Prasasti Dalam Raja Purana Klungkung (994 Saka) yang berasal dari jaman Raja Anak Wungsu ada disebutkan istilah kasuwakan yang diperkirakan berasal dari kata suwak atau subak.subak merupakan organisasi pertanian tradisional yang mempunyai tugas pokok mengurus dan mengatur sistem pengairan di sawah. Sampai kini organisasi subak masih tetap eksis didalam komunitas agraris di Bali.

Kelompok pertukangan (undahagi) dibagi menjadi beberapa kelompok yang lebih khusus sesuai dengan keahlian atau keterampilan yang dimilikinya, seperti undahagi pengarung (tukang pembuat terowongan bawah tanah untuk saluran irigasi), undahagi watu (tukang pemasang batu untuk membuat tembok bangunan), undahagi kayu (tukang kayu), undahagi lancing (tukang pembuat lancing/jukung), dan undahagi rumah (arsitek rumah).

Kelompok pande bergerak dibidang pengerjaan logam untuk membuat perbagai perkakas pertanian, senjata dan perhiasan. Dalam prasasti Bali Kuno disebutkan pande besi, pande mas, pande tambra (pande tembaga), dan pande kangsa (pande perunggu). Sementara itu kelompok seniman terdiri atas seni suara, seni music, dan seni pertunjukan. Terkait dengan seni suara, dalam prasasti ada disebutkan istilah agending (menyanyi), pengending (penyanyi/pesinden). Seni musik diantaranya asuling (peniup seruling), abonjing, banjur, parpadaha (penabuh kendang), prasankha (peniup sankhala/sungu/alat musik kerang), calung (alat musik perunggu), apukul (penabuh), salunding (penabuh selonding). Kelompok seni pertunjukan, diantaranya yaitu : atapukan (penari topeng), abanywal (pelawak), parbwayang (wayang), dan seni pertunjukan lainnya. Semua kelompom seniman tersebut dalam prasasti juga disebutdengan kelompok bhangandina (Semadi Astra, 1997: 113), yang dalam Bahasa Bali Lumrah dewasa ini juga disebut kelompok pragina. Kelompok kelompok seniman tersebut tampaknya diorganisir sedemikian rupa dalam sistem pengupahan. Misalnya untuk kelompok seniman pesinden (juru tembang) yang menghibur komunitas istana disebut agending i haji, sedangkan yang menghibur publik disebut agending ambaran. Demikian pula dalam pertunjukan wayang (perbwayang), juga diklasifikasikan menjadi hiburan wayang untuk komunitas istana (I haji) dan untuk umum (ambaran).

2.1.2    Lapisan Sosial

Strata sosial (lapisan sosial) merupakan sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas- aktivitas, untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam masyarakat. Apabila dalam masyarakat ada sesuatu yang dihargai, maka hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan sistem yang berlapis-lapis dalam masyarakat ( stratifikasi sosial). Sesuatu yang dihargai dalam masyarakat itu, mungkin berupa uang atau benda- bgenda yang bernilai ekonomis  mungkin juga berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan atau juga keturunan dari keluarga yang terhormat (koentja, 1987 : 203). Lebih lanjut dinyatakan, stratifikasi sosial adalah pembedaan masyarakat kedalam kelas-kelas sosial secara bertingkat (Soekanto, 1987:205).

Walaupun pada Zaman Bali Kuno belum di sebutkan tentang strategi secara ekplisit, namun lapisan sosial tersebut tentu juga sudah di kenal. Lapisan sosial pada masa itu dapat di identifikasikan dari gelar yang di pakai oleh para pejabat pemerintahan, maupun gelar spiritual ((kependetaan) atau terminalogi statifikasi sosial lain yang lazim di kenal dalam masyarakat hindu seperti halnya kasta. Mengingat pada zaman Bali Kuno sudah di kenal sistem pemerintahan yang berlapis-lapis yaitu tingkat pusat, daerah dan tingkat desa, tentu hal ini mempengaruhi penggunaan gelar dan peranan mereka dalam sistem pemerintahan, yang secara implicit  mencerminkan stratifikasi sosial dalam bidang kekuasaan.

Lapisan sosial dalam bidang agama tercermin dari gelar kependetaan yang digunakan dalam tokoh agama seperti dang acaryya sebagai gelar tertinggi untuk pendeta Ciwa, sedangkan gelar dang upadhyaya  lazim digunakan oleh tokoh pendeta budha. Mereka tentu sangat dihormati karena kesucian dan pengetahuannya dibidang agama, ketatanegaraan ( politik), dan astronomi yang menempati posisi penting dalam masyarakat.

Terkait dengan keberadaan stratifikasi sosial yang lazim dikenal dalam komunitas hindu yaitu kasta . sementara itu ungkapan tentang kasta secara utuh dan eksplisit baru muncul pada zaman pemerintahan anak wungsu  tahun 971 sampai 999 saka atau 1049 sampai 1077 masehi, dalam prasasti Bila disebutkan tentang catur kasta yang menyebutkan stratifikasi sosial  dari lapisan sosial teratas hingga lapisan sosial terbawah yang terdiri atas komunitas brahma, ksatria, wesya, sudra  dalam masyarakat Bali kuno tampaknya mobilitas sosial secara vertical berdasarkan kasta agak sulit terjadi. Bhakan ada gejala pada saat itu, pemerintah menerapkan aturan larangan adanya bagi golongan masyarakat lapisan bawah (terutama laki-laki). Bagi yang melanggar ketentuan itu disebut  salah marga  dan dikenakan denda pemucuk  seperti terekam pada prasasti Pandak Bandung ( zaman Anak Wungsu ) dan dalam prasasti lainnya.

Dibawah lapisan catur kasta , khususnya dibawah komunitas sudra tersebut tampaknya masih ada lapisan sosial yang lebih rendah, yaitu kelompok sosial yang hak asasinya tergadaikan akibat berbagai hal.

2.1.3  Pembagian Harta  Warisan dan Gender

Hak-hak pembagian waris pada zaman Bali kuno cukup sering disebutkan dalam prasasti, khususnya pembagian harta waris dalam kehidupan berumah tangga, sehubunbgan dengan itu mudrock menyatakan bahwa keluarga inti merupakan pengelompokan keluarga yang paling universal , terdapat disegala tempat dalam segala zaman, meskipun bentuknya mungkin berbeda beda , fungsi keluarga inti selalu sama yaitu hubungan seksual yang mendapatkan pengesahan masyarakat , fungsi ekonomi, fungsi pengembangan keturunan, dan fungsi pendidikan bagi anak-anak yang dilahirkan dalam lingkungan keluarga tersebut (Boediman Arif. 1985 : 15).

Dalam mengarungi kehidupan berkeluarga, tidak selalu berjalan mulus dan sesuai dengan harapan. Terkadang satu di antara pasangan suami istri itu meninggal, atau keluarganya punting, sehingga menimbulkan permasalahan dalam menentukan pengibahan harta kekayaan keluarga ( gonogini)

Sejak awal Zaman Bali Kuno, seperti terekam dalam prastasti Trunyan AI Caka 833/ Tahun 9011 Masehi (Goris, 1954:56-57) sudah di sebutkan pembagian harta waris dalam kehidupan keluarga. Dalam ketentuan itu di antaranya di uraikan, jika ada kematian ( uparata) di desa atau keluarga, yang menyebabkan terjadinya janda atau duda (krangan mawalu) maka di tentukan pembagian harta warisnya dengan istilah suhunan- tanggungan yaitu perbandingan hak waris atau bagian (suhunan = habhagi) untuk istri (babin) dan dua bagian (tanggungan atau duang bhagi ) untuk suami (marohani / laki- laki) . jika suami yang meninggal, dua bagian akan di ambil oleh lembaga desa (lembaga adat) untuk upacara kematiannya, dan satu bagian untuk istrinya yang menjadi janda (baluluh). Demikian sebaliknya, jika istri yang meninggal, satu bagian ( habhagi) di ambil oleh lembaga desa (lembaga adat).

Aturan pembagian harta waris suhunan-tanggunan dalam kehidupan keluarga Bali Kuno itu, berlaku cukup komsisten hingga zaman Bali Kuno belakangan dan mencerminkan sistem sosial yang patriarkhi. Perbedaan pembagian harta waris tersebut secara implasit mencerminkan aspek gender, dimana kedudukan atau status sosial kaum laki-laki (purusa) dipandang lebih tinggi atau lebih penting daripada wanita (pradana) atau dapat dikatakan terjadi hegemoni laki-laki terhadap wanita. Perlu dipertanyakan mengapa status sosial kaum laki-laki dipandang lebih penting atau lebih tinggi daripada wanita pada Zaman Bali Kuno.

Sehubungan dengan itu ada pemikiran yang menyatakan bahwa hegemoni kaum laki-laki terhdap wanita diperkirakan mempunyai akar sejarah yang telah lama dan sangat dalam munculnya egemoni laki-laki terhadap wanita diawali  oleh adanya pembagian kerja secara seksual. Marwell (Dalam Budiman Arief, 1985 : 24-26) peran yang didasarkan atas perbedaan seksual selalu terjadi. Hal ini sudah menjadi kenyataan yang tidak bisa dibantah dan terjadi dimana-mana, meskipun bentuknya tidak selalu sama. Pembagian oeran ini berfungsi melengkapi kekurangan kedua jenis manusia ini, agar persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dapat dipecahkan dengan cara yang lebih baik.

Di ungkapkan bahwa dalam satu keluarga, aa dua fungsi yang harus dikembangkan secara khusus, yakni mendidik anak-anak dan memproduksi makanan. Karena keluarga selalu terdiri atas seorang laki-laki dan seorang wanita, maka akan sangat menguntungkan kalau salah satu fungsi ini diberikan kepada salah satu seks, dan fungsi lainnya kepada jenis seks lainnya. Dengan demikian laki-laki dan wanita sudah dapat di didik kearah fungsi yang akan mereka mainkan ketika membentuk rumah tangga. Dinyatakan bahwa wanita mengandung dan melahirkan anak kemudian mengasuh anak yang baru dilahirkan, akan berbahaya bagi si wanita untuk bekerja berat diluar rumah tangga, maka akan lebih baik kalau wanita bekerja didalam lingkungan rumah tangga, termasuk mendidik anak-anaknya sampai besar. Dengan demikian pembagian kerja secara seksual bersifat fungsional artinya berguna bagi masyarakat secara keseluruhan (Budiman Arief 1985 : 26).

Terkait dengan sistem pembagian waris dalam kehidupan keluarga, diperkirakan mulai terjadi ketika teknologi manusia sudah mulai berkembang dan keahlian untuk beternak dan bertani muncul (zaman Neolitikum) (engels dalam Budiman Arief, 1985 : 19-20). Pada masa ini tanah menajdi seuatu yang penting sebagai alat reproduksi. Keadaan ini memungkinkan akan terjadinya pengumpulan harta benda sebagai kekayaan peribadi. Dalam pembagian kerja dalam keluarga laki-laki mendapatkan tugas untuk mengurusi makanan, menguasai alat-alat produksi dan mempunyai peluang untuk mengumpulkan kekayaan secara berlebihan.

Dalam masyarakat yang masih primitif atau sederhana yang hidup dialam yang masih sangat liar dan penuh resiko tentu ada banyak faktor yang menganggu dan mengancam kehidupan dan keselamatan seseorang. Demikian pula dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang sederhana atau tradisional, tentu banyai beban kewajiban sosial yang harus dituntaskan dan lebih banyak memerlukan kekuatan fisik. Misalnya, pada zaman Bali Kuno kewajiban sosial (laku/langkah) yang sering disebutkkan dan tampaknya dibebankan kepada warga laki-laki masyarakat desa, seperti kayu tingtihing tanggung (memikul bamboo dan kayu),  matkap bantilan (membuat wantilan), lancang, parahu (membuat lancang dan perahu), mamuru (berburu), sebagai undahagi batu (tukang batu), undahagi pengarung (tukang terowongan untuk saluran irigasi), makmitdrbya haji (menjaga harta kekayaan raja) dan jenis kegiatan lain. Pada kaum wanita lebih banyak terlibat dalam industry tekstil seperti melakukan aktifitas mengiket (mengikat benang),  mangnila (mecelup dengan warna biru).

2.1.4    Kesenian

Kesenian merupakan salah satu unsur dari tuju universal kebuadayaan. Demikian pula di Indonesia kesenian dapet ditinjau dengan konteks kebudayaan maupun  kemasyarakatan secara sederhana dapat diartikan bahwa seni tidak dapat dilepaskan dari unsur keindahan, dan keindahan senantiasa dikaitkan dengan sesuatu produk kesenian, atau suatu bentuk penampilan alam. Jhon Hos Pers memberikan perumusan tentang seni berbagai lawan dari alam, dalam artian yang terluas seni meliputi setiap benda yang dibuat oleh  manusia. Leo Tols Tio yang menhyatakan bahwa seni adalah aktifitas manusian secara sadar dengan perantaraan tanda-tanda lahiriyah tertentu menyampaikan perasaan-perasaan yang telah dihayatinya kepada orangt lain, sehingga orang lain itu ikut merasakan perasaan seperti yang ia alami (Gi, 2004 :69-70).

Berbagai tinggalan arkeologi yang tersebar dibali speerti arca-arca dewa, arca perwujudan leluhur, lingga yoni, candi petirtaan dan berbagai bangunan lainnya pembuatan arca-arca ini merupakan seperangkat media untuk melaksakan ibadah, dan padas sisi lain juga dipandang sebagai benda yang dalam penggarapannya melibatkan banyak pihak terutama para seniman, misalnya para pemahat. Mereka yang memiliki keterampilan pahat memahat atau seniman ukir dalam prasasti lazim disebut salupika atau sulpika (Goris 1954 a : 67).

Disamping seniman dengan media garap berupa material sumber-sumber tertulis berupa prasasti lebihn banyak yang mengacu pada seni pertunjukkan. Untuk menyebut seluruh kelompok seni pertunjukkan digunakan istilah bhandagina. Mereka yang menyandang predikat bhandagina, yakni mereka yang pada dewasa ini dikenal sebagai seniman atau artis. Diantaranya, ada yang terampil dalam seni suara, seni tabuh, seni tabuh, seni gerak atau seni tar, dan seni pedalangan.

Seni tontonan secara umum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tontonan untuk raja atau kesenian keratin atau tontonan keliling atau kesenian untuk rakyat. Dalam konteks ini istilah keraton dan seni rakyat mungkin mengacu kepada kualitas seni itu sendiri. Dengan demikian, istilah seni keraton disini tidaklah berarti bahwa kesenian tersebut tertutup sama sekali untuk dipentaskan untuk rakyat didesa-desa, dengan perkataan lain, kesenian keraton bukan monopoli raja. Berdasarkan prasasti Sembiran A IV yang dikeluarkan oleh raja Anak Wungsu tahun 987 Saka atau 1065 M diketahui bahwa di Desa Julah selain dipentaskan seni pertunjukkan rakyat juga dipentaskan kesenian keraton. Pertunjukkan atau tarian sakral dipentaskan pada waktu-waktu tertentu, misalnya sewaktu dilakukan upacara agama, sedangkan pertunjukkan profan semata-mata hanya bersifat hiburan. Walaupun demikian tampaknya tidak tertutup kemungkinan pada masa itu sudah ada kesenian semacam itu.

Dalam pementasan cabang seni seperti agending, awayang, atapukan, menmen tentu dibarengi dengan penguasaan seni sastra sebagai sumber materi pertunjukkan. Akan tetapi belum diketahui lakon apa yang dipertunjukkan dan dipetik dari karya sastra mana. Sekiranya dapat diduga pada masa itu karya-karya sastra yang lahir di Jawa seperti  Ramayana, Mahabrata, Bharatayudha dan yang lainnya sudah dikenal di Bali pada masa itu. Asumsi ini didasarkan atas hasil-hasil karya sastra seperti di atas, cukup banyak dijumpai salinannya dalam lontar di Bali. Walau pun dalam prasasti tidak dijumpai salinannya dalam lontar Bali, tetapi kenyataannya membuktikan sekarang bahwa diantara kitab-kitab tersebut banyak yang disadur dengan huruf-huruf Bali terutama kesenian pewayangan dan kesenian menembang seperti kidung dan kakawin.

           

 

 

 

 

  

 

 

 

   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

 PENUTUP

2.1  Simpulan

Bali Pada Masa Bali Kuno dipimpin oleh dua ninasti kerajaan. Dinasti pertama yang berkuasa sebagai raja-raja di Bali adalah dari Dinasti atau periode Singhamandawa. Kepemiminan kedua yaitu dari dinasti Warmadewa.  Berakhirnya dinasti Warmadewa, maka berakhir pulalah masa Bali Kuno.

Kehidupan masyarakat Bali Kuno, dilihat dari aspek sosial yaitu adanya penerapan kelompok-kelompok  sosial, lapisan sosial, dan juga adanya peraturan tentang pembagian harta warisan dan gender, aspek kesenian.

2.2  Saran

Kita sebagai masyarakat Bali, seharusnya tahu sejarah tentang daerah kita sendiri yaitu Bali. Baik itu dari masa Prasejaran, masa Bali Kuno, pada masa pertenghn Abad XIV_XVIII, Bali dalam konteks Kolonial, Sejarah Bali masa Revolusi Indonesia, bahkan perkembangan Bali sampai Saat ini.

.

Comments

Popular posts from this blog

JALAN KELEPASAN MENURUT JNANA SIDDHANTA

YADNYA SESA

Tradisi Daerah yang Terkait dengan Animisme dan Dinamisme