JALAN KELEPASAN MENURUT JNANA SIDDHANTA

1.      Sinopsis Jnana Siddhanta
Jnana siddhanta sebagai salah satu sumber ajaran tattwa pada prinsipnya mengandung ajaran tentang “Kamoksaan”  (pengetahuan tertinggi untuk mencapai tujuan akhir berupa kelepasan yang abadi, menyatunya atman dengan sumbernya) menurut ajaran Saiwasiddhanta. Lontar Jnanasiddhanta di bagi atas  beberapa bab yang membahas mengenai sifat-sifat terpenting ajaran Saivasiddhanta. Lontar ini pada keseluruhannya  terdiri dari 27 bab (judul), yaitu;
1.      Catur Viphala ; Empat viphala yang intinya membahas empat tingkat peniadaan dan pembebasan. Yaitu; Nihsprha (tanpa keinginan), nirbana (peleburan atau larutnya jasmani),  niskala  (tahap dimana jiwa manunggal tak terpisahkan dari kehampaan total), nirasraya (kelepasan sempurna).
2.     Prayoga-sandhi ; Pengetahuan rahasia mengenai cara mencapai kelepasan.
3.      Sang Hyang Pranawa-Jnana Kamoksan ; Pengetahuan rahasia mengenai suku kata OM
4.     Sang Hyang Branava-Tridevi ; menjelaskan tentang pokok-pokok bab 3 (semua konsep timbul dan melebur dalam suku kata OM).
5.     Sang Hyang Kahuwusan Jati-visesa ; realisasi mengenai tujuan sejati umat Hindu.
6.    Nirmala-jnana-sastra ; ajaran tentang pengetahuan murni.
7.     Panca Paramartha ; lima paramartha (jalan yang tidak menuju kelahiran kembali atau moksa).
8.    Sang Hyang Naisthika-Jnana ; pengetahuan yang bersifat sempurna. Disini dijelaskan mengenai Siwatattwa dan Siwajnana yang masing-masing merupakan pengetahuan sejati tentang Siva yang sangat sulit dimengerti.
9.   Sang Hyang Maha Vindu ; dalam bab ini dijelaskan teori-teori mengenai tanda anusuara yaitu huruf vindu yang ditulis seperti sebuah titik yang diperpanjang dan kalau diperbesar menjadi suatu tanda yang menyerupai sebuah tetes.
10. Sang Hyang Saptongkara ; tujuh bagian bunyi suci OM, ketujuh bunyi OM merupakan api (untuk membakar korban). Dan yang dimaksud ketujuh bunyi OM adalah; empat bagian dalam tulisan bali, dan ketiga suku kata A-U-MA.
11.  Sang Hyang Pancavim sati ; disini menjelaskan tentang bunyi OM, dimana bunyi OM terdiri dari tiga suku kata masing-masing,A,U,MA.
12.  Sang Hyang Dasatma-Sang Hyang Vindu-Prakriya ; merupakan suatu diagram mistik seperti dipergunakan dalam salah satu upacara tertentu.
13.  Pancatma ; yaitu tentang lima angin (angin prana, angin udana, angin samana, angin apana, angin byana), lima atma (byana, atma, paratma, antaratma, dan niratma), lima Aksara (VYO,MA,VYA,PI,NE).
14.  Sang Hyang Upadesa-Samuha ; keseluruhan jumlah ajaran suci yaitu dalam Tryatma (svasa; nafas ke atas, nihvasa; nafas ke bawah, samyoga; perpaduan kedua nafas tersebut).
15.  Sad-angga-yoga ; merupakan yoga yang berbentuk enam yaitu, Pratyahara, Dhyana, Pranayama, Dharana, Tarka, dan Samadhi.
16.  Sang Hyang Atma-Lingga, Lingodbhava ; merupakan puncak ajaran Siddhanta, yang menjelaskan lingga itu merupakan lambang dewa Siva.
17.  Utpetti-Sthiti-Pralina Sang Hyang Pranava ; menjelaskan tentang spekulasi-spekulasi mengenai susunan bunyi OM yang berpusar pada rumus niskala-nada-vindu-ardhacandra-visva.
18.  Caturdasaksara-pindha, Utpatti-sthiti-pralina ; menjelaskan tentang keempat belas suku kata. Yang terdiri atas pancabrahma (SA-BA-TA-A-I), pancaksara (NA-MA-SI-VA-YA), dan akhirnya suku kata OM itu sendiri.
19.  Sang Hyang Bhedajnana ;  merupakan suatu doktrin yang unggul dan rahasia.
20. Sang Hyang Mahajnana ; merupakan spekulasi tentang pembebasan, yang diwujudkan dalam suku kata AM-AH, sebuah mantra yang dikaitkan dengan hidup dan kematian, dan lain tempat disebut rva bhineda.
21.  Sang Hyang Benem Vungkal ; dijelaskan bahwa kelepasan terjadi dari tubuh, bukan keatas, bukan kebawah, bukan ke timur, bukan bukan keutara, bukan maupun bukan keselatan.
22.  Pranayama, Sangksipta-puja ; bab ini menguraikan pentingnya pernafasan yang seharusnya diketahui oleh seorang yang mengabdi menurut kewajibannya.
23.  Sang Hyang Kaka-Hamsa ; menjelaskan tentang perlawanan Sadasiva dengan Paramasiva, yang sama seperti  sekala berlawan dengan niskala.
24.  Sang Hyang Tirtha, Sapta Samudra-Sapta-Patala ; dalam bab ini menyebutkan spekulasi-spekulasi tentang makrokosmos dan mikrokosmos.
25.  Sang Hyang Saiwasiddhanta ; bab ini menjelaskan ajaran suci dari Siva, dan ajaran suci ini pada hakekatnya memang putih.
26. Utpati-Sthiti-Pralina Sang Hyang Vindu, Abhyantara ; menjelaskan tentang penampakan, kehadiran dan leburnya San Hyan Vindu Abhyantara.
27.  Jnanasiddhanta ; merupakan ajaran tentang Siddhanta (pendidikan seorang pendeta). Dimana siswa baru dapat memperoleh pendidikan dari gurunya setelah dilangsungkan suatu upacara tertentu. Dan muridharus memberikan kepada gurunya sebuah guruya atau penguruyaga, lalu ia akan menerima dari guru sebuah pengaugrahan.
2.   Sang Hyang Bhedajnana
Idam bheda-jananam proktam rahasyam paraman subham/
Bhuvanasya sarirasya yo janata sa Sivam Vrajet/
Di sini diajarkan Bhedajnana ajaran ini bersifat rahasia tertinggi dan murni. Barang siapa mempunyai pengetahuan mengenai dunia serta tubuh akan mencapai siva.
Nihan San Hyan Bhedajnana. Varahakenarikva rahasya sira apan paramarahasya, atisaya riri sarira ika . Hana pva kumavruhi riri sira tan kasandenkena mariguhakena n Sivapada helem.
Demikianlah sang hyang Bhedajnana akan kuajarkan; sifatnya rahasia karena merupakan rahasia tertinggi dan sangat indah. Bahkan ajaran ini dirahasikan didunia dan juga dalam tubuh. Jika seorang mengetahuinya, maka pasti dalam waktu singkat ia akan mencapai kaki siva.
Sukham deva-sarira-twam nirbawanam sulabham caret/
Tad idam janma rahasyam adi madhayavasanakam/
Pravaksyami adhuna vira nihsesante mahaatmanah
Dengan mudah ia akan memperoleh tubuh ilahi dan dengan mudah ia akan mencapai nirvana. Rahasia kehidupan, awal. Pusat, dan akhirnya. Kunyatakan selengkapnya kepadamu, wahai pahlawan budiman.
Kalinanya:
Ikari kadadin deva-sarira mvari kamoktan memana ta ya pimanguh ika de sari pandita Ika ta ri janan karahasyan  iri janma ya ta vinarahakeni nhulun, adi madhayavasananya, nihsesa denku marahaken iri kita. Apan parama-visesa kumva vuvusankv ika.
Tubuh ilahi serta kelepasan ditemukan oleh sang pendeta. Itulah pengetahuan  mengenai rahasia kehidupan yang diajarkan kepadaku, awal, mula dan akhirnya. Akan kuajarkan kepadamu secara tuntas. Ini penting sekali. Beginilah kata-kataku
Labda bedha jnanam sisyah srad dadhano jitendriyah/
Dharmatma vrata-sampanno guru- bhaktis tathaiva ca/
Murid yang akan memperoleh Bhedajnana hendaknya bersifat setia mampu mengendalikan indranya, bersikap jujur, mematuhi apa yang telah dipilih sebagai jalan hidupnya dan berbhakti kepada gurunya
Kuneri ivira nin sisya anun varahen riri Sari Hyan Bhedajnana.
Sisya srddha rin dhana, jitendriya tuvi, mahyun ta ya ri kagawayan iri dharma, kinahanan de riri brata, bhaktya maguru kunati. Nahan ivira nikita yogya pajeran riri San Hyan Bhedajnana. Ndya ta kramanya? Nihan:
Mengenai murid yang diperbolehkan menerima ajaran tentang Sang Hyang Bhedajnana murid tersebut hendaknya memelihara harta miliknya dengan setia, mengendalikan panca indranya, ingin memperoleh pahala, mentaati kaulnya dan berbhakti kepada gurunya. Orang serupa itu pada pokoknya pantas belajar mengenai Sang Hyang Bhedajnana. Dan bagaimana urutannya begini:
Sakala kevalah suddhah tryavasthat purusah smrtah/
Malinatva-citta-moksah kalpayate nirmalah sivah/
Kepada manusia diajarkan adanya tiga syarat : sakala (nampak), kevela (terisolir) dan Sudhha (murni). Bila batin dibebaskan dari kekotoran itulah sama dengan siva nirmala.
Tiga avastha ya sari purusa riri kalepasan: hanan sakala, hanan kevala hanan sudhha. Katuturaken siran mankana: sakala naranya makavak triguna sira. Kevala naranya atingal pamukti sira malinatva naranya papasahnira mvam triguna. Manovijnanavaknira suddha naranya pati titi manovijnana saken sira. Mari mamikalpa sunyakara, kaivalya tan hana geleh-geleh niran pamukti. Sira sinanguh Nirmala-Siva.
Tiga tahap bagi manusia untuk mencapai pelepasan: yang nampak, yang terisolir, kemudian yang murni. Ini hendaknya diajarkan sebagai berikut: nampak berarti terjelma dalam tiga unsur. Terisolir berarti melepaskan kenikmatan. Kotor berarti hubungannya dengan ketiga unsur. Tubuhnya adalah pencerapan lewat batin murni bearti bahwa itu mengakhiri pencerapan lewat batin. Segala aktifitas berhenti, terjadi kehampaan, isolasi dalam kelepasannya tak ada noda. Itulah yang dinamakan Siva Nirmala
Sudhha-suksma-svayam-bhogi. Sudha-jnanam ca moksanam/
Mano linam param suddham moktam eva prakirtitam/
Batin yang bersifat murni halus, swasembada dan yang mempunyai pengetahuan yang murni, lebur dan bersifat murni sampai derajat tertinggi. Itulah yang dinamakan Kelepasan.
Anantara sake rika ri huvusnyan enak henan-heniri nin mano vijnana nirvisaya suddha tan mamikalpa, sunya-rupa malihan ta n manah yeka parama-suddha naranya. Apan malihan teher suksma tan palvir. Ndan prihavak ta laksananya. Samksepanya; ikan jnana suddha vimala smksipta nin kamoksan . tan hana leviha saken manah sunyakara. Vekasan ri linanya, mukta kaivelya San Hyan Atma. Ya sinanguh purvabadha-koti na. apayapan pisaninum siran pamuktya n karma mvan phala. Apan nirbana sira mukta, Lin san pandita.
Seketika sesudah pencerapan-lewat-batin dihentikan dan menjadi murni semurni murninya, batin tidak mempunyai obyek-obyek lagi, tidak membuat konsep-konsep  lagi menjadi hampa dan murni dan itulah yang dinamakan kemurnian tertinggi, karena ia jerni dan murni tanpa wujud, lagi pula berada karena ia sendiri. Singkatnya: batin yang murni tanpa noda, suatu jalan singkat kearah kelepasan. Tak ada sesuatu yang kebih mulia daripada batin yang hampa. Akhirnya bila batin itu lebur, Sang Hyang Atma dibebaskan dan disendirikan. Itulah yang dinamakan akhir segala rasa sakit sebelumnya. Sebab bagaimana mungkin  menikamati perbuatan dan buah hasilnya? Bukankah ia mencapai nirvana dan lepas, kata sang pendeta.
Purusasya try-avasthanam mukto bhavati tatsamah./
Vairagyadi-traye tattvam dhyanadi-traye samyamah/
Kedudukan manusia adalah bersifat tiga. Bersama dengan ketiga kedudukan ia dilepaskan. Pokoknya terletak dalam tiga serangkai. Yakni kebebasan dari nafsu dan seterusnya, sedangkan penahanan diri terletak dalam tiga bentuk meditasi dan seterusnya.
Ndya ta sadhana nin mamuktaken sira? Nihan; tiga vih sadhanasan purusa mokta-cittta prasidhha-sadhananiran mukta. Lvirnya: vairagya-ada –traya, dhyanadi-traya narayana: vahya-vairagya, para-vairagya, isvara-pranidhana. Vahya-vairagya naranya kaviratin. Para-vairagya naranya dharma san viku vita-raga, raga icchanusayi, tan hana n raga ri sira. Isvara-pranidhana naranya ayoga-pravrtti.
Dan bagaimana jalan untuk mencapai kelepasan? Begini: jalan untuk mencapai kelepasan jumlahnya tiga dan itulah sarana yang baik sekali untuk mencapai kelepasam. Tiga jalan itu ialah tuga serangkai: bebas dari pada nafsu, dan seterusnya serta tiga serangkai meditasi  dan seterusnya. Tiga serangkai bebas daripada nafsu berarti: vahya-vairagya, para-vairagya dan isvara pranidhana. Vahya Vairagya berarti bebas dari indera. Para-vairagya  berarti kehidupan seorang pertapa yang bebas dari raga.  Raga berarti mengejar cita-citanya; tak ada lagi raga dalam dirinya. Isvara Pranidhana berarti tekun melakukan Yoga.
Dhyanadi-traya naranya: pranayama, dharana, Samadhi. Pranayama naranya kunci rahasya. Dharma naranya pranava-jnanaikatana. Samadhi naranya nirvyapara-jnana. Nahan sadhananun-kapangi-han San Hyan Bhedajnana.
Tiga serangkai meditasi dan seterusnya berarti: Pranayama (pengendalian nafsu) Dharana (memusatkan perhatian) dan Samadhi (konsentrasi) Pranayama (pengendalian nafsu) merupakan kunci rahasia (mengunci lubang-lubang) Dharana memusatkan perhatian berarti terkonsentrasi pada bunyi OM. Samadhi (konsentrasi) berarti pengetahuan yang bukan  diskursif. Begitulah ajaran yang terdapat dalam Sang Hyang Bhedajnana
Iti san Hyan Bhedajnana
Demikian (tamatlah bab) mengenai Sang Hyang Bhedajnana
3.  Jalan untuk mencapai kelepasan menurut Jnana Siddhanta
Dari bab 19 san Hyan Bhedajnana, akan dibahas tentang jalan untuk mencapai kelepasan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, jalan untuk mencapai kelepasan ada tiga, yaitu:
1.      Vahya Vairagya
Dalam jnana siddhanta, dijelaskan bahwa vahya vairagya berarti bebas dari indera, tetapi tidak dijelaskan secra terperinci maksud dari ajaran tersebut. Tetapi wikipedia disebutkan bahwa indra atau indria merupakan alat penghubung/kontak antara jiwa dalam wujud kesadaran rohani diri dengan material lingkungan. Lima macam indra berfungsi sebagai alat sensor dalam bahasa sanskerta disebut panca budi indriya dan dalam bahasa indonesia disebut panca indra, yaitu: alat pembantu untuk melihat (mata), alat pembantu untuk mengecap (lidah), alat pembantu untuk membau (hidung), alat pembantu untuk mendengar (telinga), dan alat pembantu untuk merasakan (kulit/indra peraba) (http://googleweblight.com). Dalam Bhagavad Gita 8.66  disebutkan,
sarva-dharman parityajya mam ekam saranam vraja
aham tvam sarva-papebhyo moksayisyami ma sucah
Artinya:
Tinggalkan segala tugas kewajibanmu, tetapi datanglah dan serahkanlah dirimu sepenuhnya hanya kepada-Ku. Maka aku akan membebaskan dirimu dari segala dosa dan aku akan memberikan pembebasan dari kesengsaraan duniawi kepadamu. (terhadap pernyataan-Ku ini) janganlah engkau ragu.

Dari sloka diatas dapat diuraikan bahwa, jika seseorang telah dapat menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, maka kita tidak perlu ragu untuk meninggalkan tugas dan kewajiban. Tugas dan kewajiban tersebut sangat berkaitan dengan indera manusia, oleh karena itu jika tugas dan kewajiban tersebut telah dapat ditinggalkan, tetapi menyerahkan diri kepada Tuhan, maka seseorang tersebut akan terbebas dari kesengsaraan duniawi dan dapat mencapai Tuhan dengan jalan kelepasan. Begitu halnya yang disebutkan dalam Sarasamuccaya Sloka 505,
Duhkhesvanudvignamah sukhesu vigatasprhah,
Vitasokabhayakrodhah sthiradhimunirusyate
Artinya:
Orang yang ketempatan kearifan budi, tidak bersedih hati, jika mengalami kesusahan, tidak bergirang hati, jika mendapat kesenangan, tidak kerasukan nafsu marah dan rasa takut serta kemurungan hati, melainkan selalu tetap tenang jernih kesadaran beliau, karena beliau itu memiliki keluruhan budi munilah pula disebut orang yang maha arif bijaksana.
Dari sloka tersebut, seseorang yang telah bisa melepaskan diri dari ikatan indera, maka orang tersebut akan mampu memiliki ketempatan kearifan budi sebagai orang yang maha arif bijaksana. Selalu bersifat tenang, tidak terpengaruh oleh suka maupun duka.
2.      Para-vairagya 
Dalam jnana siddhanta, dijelaskan bahwa para-vairagya berarti kehidupan seorang pertapa yang bebas dari raga. Raga berarti mengejar cita-citanya; tak ada lagi raga dalam dirinya. Tidak dijelaskan secara terperinci maksud dari ajaran tersebut, tetapi dalam Tutur Bhuwana Kosa 8.28 disebutkan bahwa,
Mantra hung dhrut namaskaram, mudrarccana widhi kramam, homa bhasma widhananca, sarwwa yajna waranane.
Nihan tang mantra Hungdhrutkara, mwang namaskara, mudra, arccana, widhi homa, sarwwa widhana, mwang kagawaya ning bhasma, mwang sarwwa yajnadi. Na widdhyate iti sarwwam, ika ta kabeh tan gawayakna moksa sang ksinah, ika ta hapus hapus ning kamoksan, tyaktam moksartthi sarwwada, ya ta matangyan tinggalakna tikang mudradi de sang mahyun ing kamoksan, katinggal pwa ya ta, wisate praman siwam, mantuk ta sira ring bhatara parama siwa
Artinya:
Yang ditinggalkan adalah: mantra Hung Dhrutkara dan Namaskara, Mudrarcana, Homa untuk Widhi, segala upacara, melaksanakan basma, segala jenis yadnya dan yang berhubungan dengan itu. Itu semuanya jangan dilaksanakan, karena ia adalah pengikat/penghalang kebebasan yang sejati. Oleh karena itu maka ditinggalkannya mudra dan sebagainya itu oleh orang yang ingin menemukan kebebasan yanag sejati. Setelah itu ditinggalkan, maka ia akan kembali kepada bhatara parama siwa.
Dari sloka diatas, dapat diuraikan bahwa untuk kembali kepada Bhatara Parama Siwa seseorang harus mampu meninggalkan segala sesuatu yang berkitan dengan raganya, yang berkaitan dengan hal-hal yang dilakukan secara fisik, seperti halnya melaksanakan mudra, melaksanakan yadnya, namaskara, mantra hung dhrutkara. Karena semua yang dilaksanakan tersebut memiliki maksud dan tujuan yang diharapkan atau mengejar cita-cita. Oleh karena itu semua hal tersebut harus ditinggalkan, karena merupakan pengikat/penghalang dari kebebasan atau kelepasan. Begitu halnya disebutkan dalam Sarasamuccaya Sloka 510,
Vijayanyupadagdhani na rohanti yatha punah
Jnanadagdhaistatha klesairnatma sampadyate punah
Artinya:
Maka kenyataannya kecemaran badan akan lenyap, jika dilebur dengan latihan-latihan pikiran; jika telah hilang musnah kotoran badan itu, karena telah diperoleh pengetahuan yang sejati, maka terhapuslah kelahiran, tidak menjelma lagi sebagai misalnya biji benih, yang panas, dipanggang, hilang daya tumbuhnya, tidak mengecambah lagi.
Dapat dipahami bahwa, sesungguhnya untuk mencapai kelepasan tidak hanya harus melaksanakan yadnya maupun mudrarcana, karena hal tersebut masih berkaitan dengan raga, tetapi bisa dilakukan dengan latihan-latihan pikiran untuk melenyapkan segala kekotoran badan kita untuk mencapai pengetahuan yang sejati atau mencapai Parama Siwa (Moksa). Tetapi lain halnya yang disebutkan dalam BhagavagGita 8.9 dan BhagavadGita 8.11
Karyam ity eva yat karma niyatam kriyate rjuna
Sangam tyaktva phalam caiva sa tyagah sattviko matah
                                                (Bhagavad Gita 8.9)
Artinya:
Wahai Arjuna, “perbuatan mulia itu wajib dilakukan”, dengan berbuat seperti itu, orang orang melaksanakan perbuatan-perbuatan mulia (persembahan korban suci, kedermawanan dan pertapaan) dengan meninggalkan ikatan serta pahala dari semua perbuatan mulia itu, maka itulah yang dikatakan sebagai tyaga atau meninggalkan keterikatan yang tergolong dalam sifat kebaikan.
Na hi deha-bhrta sakyam tyaktum karmany asesatah
Yas tu karma-phala-tyagi sa tyagity abhidhiyate
                                                (Bhagavad Gita 8.11)
Artinya:
Oleh karena sama sekali tidak mungkin untuk meninggalkan segala perbuatan, maka orang yang (berhasil) meninggalkan keterikatan terhadap phala dari perbuatan, dialah sesungguhnya seorang tyagi, yaitu orang yang sudah meninggalkan keterikatan. Demikian dikatakan (oleh orang-orang suci dan kitab-kitab suci).
Dari kedua sloka tersebut dapat dipahami bahwa, menurut BhagavadGita persembahan korban suci, kedermawanan dan pertapaan wajib dilakukan oleh seseorang, tetapi meninggalkan ikatan serta pahala dari semua perbuatan mulia itu juga diwajibkan, sebagai seorang tyaga yaitu seorang yang sudah meninggalkan keterikatan yang tergolong sifat kebaikan. Tujuan dari semua itu adalah untuk mencapai kelepasan atau moksa.
3.      Isvara Pranidhana
Dalam jnana siddhanta, disebutkan bahwa isvara praniddhana berarti tekun melakukan Yoga. Tetapi dalam jnana siddhanta tidak dijelaskan secara terperinci dan jelas, karena ajaran dalam jnana siddhanta bersifat rahasia, oleh karena itu perlu dipahami juga melalui ajaran teks-teks lain. Untuk memahami maksud tersebut disini kami mengambil dari Tutur Bhuwana Kosa. Dalam Tutur Bhuwana Kosa 8.31 disebutkan,
Kuta mudra tatha mantram, dewato carayed wudhah, mangkana pwa ya ika sang pandita, tatan mangunyakna kuta mantra, mwang kuta mudra idan tat niskala jnanam, kunang ikang niskala jnana, ya ta kawruhana de sang yogi, padam ewaca nirasrayam, matangyan kawruana ya, ikang kanirasrayan, apan kasurudan suka duhka, dewi uwaca
Artinya:
Demikian halnya pendeta yang tidak mengucapkan kutamantra dan kuta mudra, tetapi ia memiliki pengetahuan tentang yang tiada tampak (niskala), yang diketahui oleh orang yang menekuni yoga, maka ia akan mengetahui alam yang murni itu terhindar dari suka dan duka. Batara kembali bertanya
Dari kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa, untuk mengetahui alam yang murni yang terhindar dari suka maupun duka, seseorang tidak harus melakukan kutamantra dan kuta mudra, tetapi bisa dilakukan dengan mempelajari pengetahuan yoga dan menekuninya. Demikian juga yang dijelaskan dalam Tutur Bhuwana Kosa 10.4 dan Tutur Bhuwana Kosa 10.21
Pranawa jnana sastrena, cihna prana sayogawit, nihan deya nira sang wruh ring yoga sandhi, ikang pranawa jnana, ya ta kangken tweka, pamegatanira ri hurip nira. Jihwarge talu sang slista, tungtung ing jihwagra, tumukupana rikang laklakan, tulya sang slista locanam, mwang ikang locana, wulatakna ring laklakan.
                                                (Tutur Bhuwana Kosa 10.4)
Artinya:
Begini yang dilakukan oleh orang yang menekuni yoga sandhi, pengetahuan tentang pranawa itu sebagai keris untuk memutuskan hidupnya, ujung lidahnya dilekatkan pada langit-langit, dan matanya diarahkan pada langit-langit.

Yadi jyotih winasyanti, tarakante mreto munih. Yapwan hilang ikang jyoti ring anak-anakaning mata, pejah ika sang yogi yan mangkana, jyotini mahati jyotih, wahiscawi mreto munih. Mogha ya sateja ikang jyoti, nyata tan mati ika ang yogi yan mangkana.
                                                (Tutur Bhuwana Kosa 10.21)
Artinya:
Yang patut diusahakan oleh orang yang menekuni yoga, jangan khawatir andaikata tidak ada sinar tampak olehmu. Karena untuk kembali pada Sang Hyang Parama Siwa, ada atau tidak ada sinar pengetahuan sidhanta menghantarkan kembali kepada Sang Hyang Parama Siwa.
Dapat disimpulkan bahwa menurut kutipan tersebut, seseorang yang tekun melakukan yoga sandhi, pengetahuan sidhanta yang dimilikinya bisa dijadikan senjata untuk mencapai kelepasan dan menghantarkan orang tersebut kembali kepada Sang Hyang Parama siwa atau moksa.
Dalam Tutur Bhuwana Kosa 11.57 dijelaskan,
Sangyoganira Sang Hyang Atma sira uswasa, bayu metu sake Iyang ning irung, pasuknya Siwa. Ubhayor api sangyogah, sah atmeswara sang jnakah, bayu bhutas siwo jneyah, nasandeho waranane. Patemu nira Sang Hyang Atma mwang Bhatara Siwa, sira ta yoga tatwa, Atma Siwa siran yoga tatwa, ya Atmeswara sang yogi, matangyan sarwweccha sira, wratam bahuwidhang kretwa, nara siddhanta wacakah, karmmani wiwidhanyewa, yateccha kurute bhuwi.
Sarwweccha, nga, nissangsaya siran gumawayak-nikang brata kabeh.
                                                (Tutur Bhuwana Kosa 11.57)
Artinya:
Pertemuan antara Sang Hyang Atma yang berwujud nafas kehidupan keluar melalui lubang hidung dengan Sang Hyang Siwa yang berwujud nafas kehidupan yang masuk melalui lubang hidung tadi, ialah hakikat dari yoga, yaitu menunggalnya Atma dengan Siwa. Demikian keutamaan jiwa sang yogi. Oleh karena itu ia selalu sarweccha. Yang dimaksud dengan sarweccha, dengan sungguh-sungguh/tanpa ragu-ragu melaksanakan semua brata/puasa
Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa, hakikat dari yoga adalah menunggalnya Atma dengan Siwa, dalam yoga menunggalnya Atma dengan Siwa adalah saat melakukan pranayama, yaitu pertemuan Sang Hyang atma yang berwujud nafas kehidupan keluar melalui lubang hidung dengan Sang Hyang Siwa yang berwujud nafas kehidupan yang masuk melalui lubang hidung. Oleh karena itu sebagai seorang yogi, untuk mencapai kelepasan atau moksa harus dilakukan dengan sungguh-sungguh atau tanpa ragu melaksanakan semua brata dan puasa.
4.      Kesimpulan
Dari materi yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa Jnana siddhanta sebagai salah satu sumber tattwa pada intinya mengandung ajaran tentang kelepasan atau moksa yaitu menyatunya atma dengan sumbernya. Ajaran dalam jana Siddhanta bersifat rahasia, sehingga menurut kami dalam memahaminya memerlukan sumber-sumber dari sastra lain maupun realita yang terjadi di masyarakat. untuk mencapai kelepasan jumlahnya tiga dan itulah sarana yang baik sekali untuk mencapai kelepasam. Tiga jalan itu ialah tiga serangkai: bebas dari pada nafsu, dan seterusnya serta tiga serangkai meditasi  dan seterusnya. Tiga serangkai bebas daripada nafsu berarti: vahya-vairagya, para-vairagya dan isvara pranidhana. Vahya Vairagya berarti bebas dari indera. Para-vairagya  berarti kehidupan seorang pertapa yang bebas dari raga.  Raga berarti mengejar cita-citanya; tak ada lagi raga dalam dirinya. Isvara Pranidhana berarti tekun melakukan Yoga.










Comments

Popular posts from this blog

AHIMSA

TATTWA ATMAN BRAHMAN