SUKU DAYAK
SUKU DAYAK
1. GAMBARAN
UMUM SUKU DAYAK
Suku Dayak adalah nama yang oleh penjajah diberi kepada penghuni
pedalaman pulau Borneo,
yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang
terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesia yang
terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan). Ada 5 suku atau 7 suku asli Kalimantan yaitu Melayu, Dayak, Banjar, Kutai, Paser, Berau dan Tidung.
Menurut
sensus Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan
Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu suku Banjar, suku Dayak Indonesia
(268 suku bangsa) dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar).
Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah Budaya maritim atau bahari. Hampir semua
nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
"perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama
kekeluargaannya.
Ada yang
membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan,
rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak
Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun
secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau
Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan:
1.
"Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau termasuk satu suku
yang berdiri dengan nama sukunya sendiri yaitu Suku Paser.
2.
"Dayak Darat" (13 bahasa)
3.
"Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina
serta satu suku yang berdiri dengan nama sukunya sendiri yaitu Suku Tidung.
4.
"Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di
pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak
Banuaka.
5.
"Melayik" dituturkan: Dayak Meratus/Bukit
(alias Banjar arkhais), Dayak Iban (dan Saq
Senganan), Dayak Keninjal, Dayak Bamayoh (Malayic Dayak), Dayak Kendayan (Kanayatn).
Beberapa suku asal Kalimantan beradat Melayu yang terkait dengan rumpun ini
sebagai suku-suku yang berdiri sendiri yaitu Suku Banjar, Suku Kutai, Suku Berau, Suku Sambas, dan Suku Kedayan.
Secara
Etimologi Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang
asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu.
Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di
Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak
walaupun beberapa di antaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai.
Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad,
kata Dayak berasal dari kata daya dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau
pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari
kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi.
Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa
Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.
Istilah
untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn:
orang daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari;
aju= hulu). Jadi semula
istilah orang Daya (orang darat) ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat
yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan
dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan
dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk
menggantikan istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah
sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil,
selanjutnya oleh pihak kolonial Belanda hanya kedua daerah inilah yang kemudian
secara administratif disebut Tanah Dayak. Sejak masa
itulah istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun
Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk
kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya, khususnya non-Muslim atau non-Melayu.
Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian
Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa
kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah
pedalaman Kalimantan. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr.
August Kaderland, seorang ilmuwan Belanda, adalah
orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas
pada tahun 1895.
Arti dari
kata ‘Dayak’ itu sendiri masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya,
menulis bahwa menurut sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara
pengarang lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans
mengatakan bahwa arti yang paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu
sungai.
Dengan nama serupa, Lahajir et al.
melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia,
sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq
mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka juga menyatakan bahwa sebagian orang
mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk pada karakteristik personal tertentu
yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yaitu kuat, gagah, berani dan ulet.
Lahajir et al. mencatat bahwa
setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur,
yaitu Daya, Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli
itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi
orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.
2. ASAL MULA SUKU DAYAK
Secara umum
kebanyakan penduduk kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia. Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan
linguis seperti Peter Bellwood dan Blust, yaitu bahwa tempat asal bahasa
Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4
000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira
500 tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju
kepulauan Indonesia sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.
Namun orang
Austronesia ini bukan penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60.000 dan 70.000
tahun lalu, waktu permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang
dan kepulauan Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut
daratan ini "Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari benua Asia
menuju ke selatan dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu tidak
terlalu jauh dari daratan Asia.
Dari
pegunungan itulah berasal sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan,
dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai
hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan.
Tetek Tahtum menceritakan migrasi suku
Dayak Ngaju dari daerah perhuluan sungai-sungai menuju daerah hilir
sungai-sungai.
Di daerah
selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi
lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni
kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang
dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389. Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak
Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku
Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang
berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar
tahun 1520).
Sebagian
besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam keluar dari suku Dayak dan tidak
lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan
orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke
pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Batang Amandit, Batang Labuan Amas dan Batang Balangan. Sebagian lagi
terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di
Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar
Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut
orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum). Di Kalimantan Timur,
orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai.[buturujukan] Tidak hanya
dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa tercatat
mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam buku 323
Sejarah Dinasti Ming (1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan
bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan bahwa
seorang Pangeran yang berdarah Biaju menjadi pengganti Sultan
Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa Sultan Hidayatullah I dan penggantinya yaitu Sultan Mustain Billah. Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak
menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di
Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV).
Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat
dekat pantai pada tahun 1736.
Kedatangan
bangsa Tionghoa di selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk
Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang,
terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga
dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian
suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik. Tidak
hanya itu, sebagian dari mereka juga ada bangsa Eropa.
Sejak awal
abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Kaisar Yongle mengirim
sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan
kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima
orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang
Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan di antaranya candu, sutera,
barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.
Dikarenakan
arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih
mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya,
Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok
Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub
(menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan
mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi
kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas.
Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir
pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak
Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum
Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub
suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.
3.
AGAMA
SUKU DAYAK
Masyarakat
rumpun Dayak Ngaju dan rumpun
Dayak Ot Danum menganut agama leluhur yang diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagai agama Kaharingan yang memiliki ciri khas adanya
pembakaran tulang dalam ritual penguburan. Sedangkan agama asli rumpun Dayak
Banuaka tidak mengenal adanya pembakaran tulang jenazah. Bahkan agama leluhur
masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan lebih menekankan ritual dalam
kehidupan terutama upacara/ritual pertanian maupun pesta panen yang sering
dinamakan sebagai agama Balian.
Agama-agama
asli suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad
pertama Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya Candi Agung sebuah peninggalan agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya
berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat
Kalimantan memasuki era sejarah yang
ditandai dengan ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan
Timur.[55]
Penemuan
arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei kuno, Kerajaan
Sribangun (di Kota
Bangun, Kutai Kartanegara)[56] dan Kerajaan Wijayapura.
Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi
dengan budaya India yang menandai kemunculan masyarakat
multietnis yang pertama kali di Kalimantan.
Penemuan Batu Nisan Sandai menunjukan penyebaran agama
Islam di Kalimantan sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16,
masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang menandai
kepunahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum adat Banjar dan Melayu yang dipengaruhi oleh
sebagian hukum agama Islam (seperti budaya makanan, budaya
berpakaian, budaya bersuci), namun umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap
memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan Kaharingan.
Sebagian besar
masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih
mempertahankan agama Kaharingan. Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke
dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu Bali) sehingga mendapat sebutan agama
Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini
mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi
Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku dengan
etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh
para Biksu di kalangan masyarakat Dayak misalnya
terdapat pada masyarakat suku Dayak Dusun
Balangan yang tinggal di kecamatan Halong di Kalimantan Selatan.
Di
Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai agama orang Dayak
(sehingga Dayak Muslim Kalbar terpaksa membentuk Dewan Adat Dayak Muslim
tersendiri), tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi lainnya sebab orang Dayak
juga banyak yang memeluk agama Islam namun tetap menyebut dirinya sebagai suku
Dayak.
Di wilayah
perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku hukum
adat Dayak. Wilayah-wilayah di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan
Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Banjar/Melayu seperti suku
Banjar, Melayu-Senganan, Kedayan, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan
Bulungan. Bahkan di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat
lama berada dalam pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku
hukum adat Dayak/Kaharingan. Di masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen dan orang Dayak Kristen di
perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum
golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama Nasrani mampu menjangkau
daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama Nasrani
dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang
Dayak.
Jika kita
melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang Melayu
yang mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui
Muslim Hanafi
menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan
transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu kieng (Palembang) maupun ke Majapahit. Banyak penjabat Dinasti Ming adalah
orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan
bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab. Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa
Dinasti Ming yang mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat
khawatir mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di
saat para pedagang sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan
penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14
dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa.
Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami kegagalan, karena pada
dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur
(Kaharingan) dan curiga kepada orang asing, seringkali orang-orang asing
terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif terhadap orang asing karena
takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar pulau yang
hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC
Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan
Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun
1787, Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan
Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai beraktifitas secara
leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan
negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal 26 Juni 1835,
Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin
dan mulai menyebarkan agama Kristen ke pedalaman Kalimantan Tengah. Pemerintah
lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris.
4.
PEMUJAAN
DALAM SUKU DAYAK
Sesaji merupakan makanan
(bunga-bungaan dan sebagainya) yang disajikan kepada orang halus (roh-roh,
dewa, dan sebagainya)”. Sesaji banyak digunakan oleh suku-suku di Indonesia,
seperti Suku Jawa, Bali, Sunda, Suku Dayak, dan suku-suku lainnya untuk
pemujaan pada ritual adat.
Suku Dayak percaya terhadap roh-roh
dan kekuatan gaib pada benda-benda yang dianggap keramat. Mereka juga percaya
adanya pencipta alam semesta. Oleh karena itu, untuk menghormati roh-roh dan
kekuatan gaib serta dewa, mereka mengadakan berbagai upacara dalam kehidupannya
seperti: Nyengkelan Tanah, Tolak Bala, upacara kematian, upacara pengobatan,
Makai Taun Meri’ Batu atau tahun baru, upacara adat Bekalih ke tanah, upacara
Muja tanah atau Mamuja, dan upacara waktu istri hamil.
Dalam adat istiadat Dayak dikenal
Gawai Dayak atau dikenal juga dengan Naik dango dan Maka’ dio. Gawai Dayak
merupakan salah satu upacara tradisional, umumnya dilakukan untuk penyembahan
dan pemujaan terhadap kekuatan alam dan roh-roh gaib, selamatan atas karunia
dan berkat yang diberikan Allah Tala atau Petara (Tuhan yang Mahaesa), serta
memperkuat persaudaraan.
Keananekaragaman adat istiadat Suku
Dayak di setiap daerah tentunya berbeda-beda, meskipun maksud dan tujuan dari
upacara tersebut sama. Berikut adalah macam-macam upacara ritual adat Suku
Dayak :
1.
Upacara Nyagahatan (upacara
musim tanam dan panen suku Dayak)
Upacara Nyagahatan biasanya dipimpin
oleh petugas adat yang menangani padi yang disebut Tuha Tahut. Upacara
dilakukan disebuah ditempat di dekat sawah (Panyugu). Sebelum upacara adat suku
Dayak melakukan tahap menanam padi yaitu: “ngerinteh jalai (merintis jalan),
nebaeh (menebas), nebang (menebang), nunu umai (membakar lahan), menugal benih
dan menanam bibit, mantun padi atau menyiang, ngetau atau panen padi, dan pengemasan
padi. Pada saat ritual ini, bertujuan untuk menghindari gangguan saat proses
menanam padi, agar padi tumbuh subur.
2.
Ngampar Bide
Dalam Ngampar bide sendiri terdapat
serangkaian tahapan pelaksanaan, yaitu Nyangahathnmanta’ (pelantunan doa atau
mantra) sebelum seluruh kelengkapan upacara disiapkan dan ngadap buis, yakni
tahapan penyerahan sesaji (buis) kepada Jubata (Tuhan). (1) Nyangahatn manta’
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: matik (semacam upacara pemberitahuan kepada
kepada awapama atau roh leluhur dan Jubata (Tuhan) tentang akan diadakannya
upacara tersebut; Ngalantekatn (memohon keselamatan bagi semua pihak pelaksanan
upacara); dan Mibis (semacam upacara pemurnian agar kotoran musnah). Dalam
upacara Nyangahatn manta, sesuai namanya, sesaji yang disiapkan biasanya adalah
bahan yang belum masak atau mentah (manta); (2) Gadap Buis (Nyangahatn masak),
merupakan upacara adat puncak dari keseluruhan proses Ngampar bide dimana
seluruh peraga adat sudah tersedia.
Ngampar Bide dihadiri para tokoh
Dayak yang berperan dalam menyiapkan Gawai. Mereka membahas persiapan,
menyiapkan, dan tentunya melaksanakan acara inti, yaitu memohon perlindungan
Jubata atas kelancaran upacara. Pada upacara penutupan akan digelar gulung bide
(gulung tikar) yang menandai berakhirnya upacara.
3.
Upacara Gawai Makai Taun
Gawai Makai Taun dalah upacara tahun
baru sebagai ucapan syukur kepada Petara (tuhan) atas rezeki yang telah
diberikan dan memohon berkah-Nya untuk tahun yang akan datang.
4.
Upacara Adat Buah
Upacara Adat Buah adalah salah satu
upacara adat yang menjadi tradisi suku Dayak Pesaguan Kalimantan Barat. Upacara
ini dilakukan untuk menyambut musim buah dalam kehidupan masyarakat Pesaguan.
Tujuan upacara ini adalah agar mendapat hasil panen yang melimpah dan bersyukur
pada Tuhan.
5.
Sesaji Upacara Pemberian
Nama Bayi (Batalah).
Suku Dayak melaksanakan upacara adat
saat kelahiran anak untuk memberikan nama yang baik pada anak yang telah lahir
(Batalah). Tujuan upacara adat ini adalah agar anak senantiasa mendapat
perlindungan dari Petara (Tuhan).
6.
Upacara Ba’ayun Maulid
Perayaan Maulid memang tidak biasa.
Karena selain pembacaan syairsyair Maulid, disertai dengan prosesi dan ritual
budaya Ba’ayun Anak, karena pelaksanaannya bertepatan dengan perayaan Maulid
maka disebut juga Ba’ayun Maulid. Tempat pelaksanaannya tidak sembarangan.
Bertempat di Mesjid atau biasa disebut mesjid keramat, membuat ritual ini
menjadi luar biasa, dengan maksud agar anak senantiasa sehat, cerdas, berbakti
kepada orang tua dan taat beragama, sangat kontras dengan tempatnya yang
dikeramatkan.
7.
Ritual Tiwah
Ritual Tiwah adalah upacara
tradisional yang menghubungkan dengan orang yang sudah meninggal, yaitu
mengantarkan tulang belulang kerangka orang mati menuju suatu rumah yang ukuran
kecil yang memang sengaja di buat untuk menyimpaan tuang belulang orang yang
meninggal, rumah ini di namakan sandung. Ritual Tiwah bertujuan sebagai ritual
untuk meluruskan perjalanan Roh atau arwah yang bersangkutan menuju Lewu Tatau
(surga) sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa.
5.
TRADISI SUKU
DAYAK
1. Tradisi
suku Dayak Kanayatan.
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan
(Kenyah-Kayan-Bahau),
Ot
Danum-Ngaju, Iban, Murut,
Klemantan dan Punan.
Rumpun Dayak
Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau
Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi
antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari
Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis.
Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan
ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah
suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau
tidak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti
tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan
terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari.
Perkampungan Dayak rumpun Ot
Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu
dan pada Dayak lain sering disebut banua/benua/binua/benuo.
Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin
seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.
Prof. Lambut
dari Universitas
Lambung Mangkurat, (orang Dayak Ngaju) menolak anggapan Dayak
berasal dari satu suku asal, tetapi hanya sebutan kolektif dari berbagai unsur
etnik, menurutnya secara "rasial", manusia Dayak dapat dikelompokkan
menjadi :
Namun di
dunia ilmiah internasional, istilah seperti "ras Australoid", "ras Mongoloid dan pada umumnya "ras"
tidak lagi dianggap berarti untuk membuat klasifikasi manusia karena kompleksnya faktor yang
membuat adanya kelompok manusia.
2. Tradisi Penguburan
Peti
kubur di Kutai. Foto tersebut merupakan foto kuburan Dayak Benuaq di Kutai. Peti yang dimaksud
adalah Selokng
(ditempatkan di Garai). Ini merupakan penguburan primer - tempat mayat melalui
Upacara/Ritual Kenyauw.
Sementara di sebelahnya (terlihat sepotong) merupakan Tempelaq
yang merupakan tempat tulang si meninggal melalui Upacara/Ritual Kwangkay.
Tradisi
penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam
hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan
manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya
penguburan di Kalimantan :
- penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan
posisi kerangka dilipat.
- penguburan di dalam peti batu (dolmen)
- penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu,
atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir
berkembang.
1. Menurut
tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan
dibedakan :
- wadah (peti) mayat--> bukan peti mati :
lungun,
selokng
dan kotak
- wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1)
serta guci.
2. berdasarkan
tempat peletakan wadah (kuburan) Suku Dayak
Benuaq :
- lubekng (tempat lungun)
- garai (tempat lungun, selokng)
- gur (lungun)
- tempelaaq dan kererekng
3. Pada
umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
- penguburan tahap pertama (primer)
- penguburan tahap kedua (sekunder).
4.
Penguburan primer
- Parepm
Api (Dayak Benuaq)
- Kenyauw
(Dayak Benuaq)
5.
Penguburan sekunder
Penguburan
sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya
di Kecamatan Pujungan, Malinau,
Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan
peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan
peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil
dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal
tiga cara penguburan, yakni :
- dikubur dalam tanah
- diletakkan di pohon besar
- dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan sekunder
- Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada
penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau
(alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah
penguburan pertama di dalam tanah.
- Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada
Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu
wadah.
- Marabia
- Mambatur (Dayak Maanyan)
- Kwangkai
/Wara (Dayak Benuaq)
Comments
Post a Comment