kepercayaan masyarakat suku tengger



TUGAS PENGANTAR TEOLOGI
KEPERCAYAAN MASYARAKAT SUKU TENGGER



OLEH:
                          NAMA                    : NI KADEK SRI AGUSTINI
                          NIM                         : 15.1.4.5.1.016
                          FAKULTAS           : BRAHMA WIDYA
                          JURUSAN              : TEOLOGI
                          PRODI                    : TEOLOGI HINDU
                          JENJANG              : S1
                          SEMETER             : 1 / PAGI


INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2015
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu
Om Ano Badrah Kratawu Yantu Wiswatah
“Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru”
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena Atas Asung Kerta Wara Nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maka penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KEPERCAYAAN MASYARAKAT SUKU TENGGER” tepat pada waktu yang telah diberikan.
Penulis menyadari sepenuhnya atas adanya keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh penulis dalam menulis paper ini, sehingga hasilnya pun balum bisa dikatakan sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan guna untuk kesempurnaan penulisan berikutnya.
Penulis mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini banyak terdapat kesalahan dan kekurangan yang tentunya tidak ada faktor kesengajaan. Semoga dengan adanya makalah ini, bisa bermanfaat untuk kita bersama, baik masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Om Santih, Santih, Santih, Om




Denpasar, 5 Desember 2015
Penulis,


(Ni Kadek Sri Agustini)





DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................................................................         i
DAFTAR ISI ..............................................................................................        ii
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................        1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................        1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................        2    
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................        2
1.4 Metode Penulisan ..................................................................................        2
BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................        3
2.1 Sejarah Masyarakat Suku Tengger ........................................................        3
2.2 Sistem Religi Yang Dianut Masyarakat Suku Tengger .........................        3
2.3 Kepercayaan-kepercayaan Yang Terkait Dengan Alam Sekitar ...........        7
2.4 Upacara Kasada Masyarakat Tengger ...................................................        8
BAB III PENUTUP ...................................................................................      11
3.1 Simpulan ...............................................................................................      11
3.2 Saran .....................................................................................................      11
SUMBER-SUMBER ..................................................................................      12




BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suku Bangsa Tengger adalah salah satu Suku Bangsa yang berada di wilayah Indonesia. Nama Tengger berasal dari kata Legenda Rara Anteng dan Jaka Seger yang telah diyakini sebagai asal usul nama Tengger, yaitu “Teng” akhiran nama Rara An-“teng” dan “ger” akhiran nama dari Jaka Se-“ger”.
Masyarakat ini dikenal memilki sistem religi dan kepercayaan masih cukup kental. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya upacara- upacara adat yang biasa mereka lakukan sejak zaman nenek moyang hingga saat ini. Meskipun hidup pada era globalisasi seperti saat ini, masyarakat Tengger di Desa Ngadas masih mempertahankan tradisi-tradisi yang berasal dari para leluhur, sehingga rasa kekeluargaan dan rasa saling memilki terhadap apa yang sudah diwariskan masih sangat tinggi.
Masyarakat suku Tengger khususnya masyarakat yang berdomisili di Desa Ngadas mayoritas adalah pemeluk agama Hindu. Mereka melaksanakan berbagai ritual keagamaan dengan alasan bahwa hal tersebut telah menjadi kewajiban dan sebagai wujud bakti kepada Dewa atau Tuhannya. Bahkan sebagai wujud untuk mendapatkan satisfaction of spiritual secara pribadi, dan bagi mereka melakukan upacara-upacara adat adalah suatu kewajiban sosial.
Sistem religi atau kepercayaan dan adat istiadat masyarakat Tengger masih cukup kental serta terjaga kelestariannya. Hal tersebutlah yang menjadi daya tarik kami untuk mengkaji sistem religi atau kepercayaan masyarakat Suku Tengger, khususnya di Desa Ngadas (http://blog.unnes.ac.id/nuufidwati/2015/11/05/tentang-masyarakat-tengger/ ) .



1.2 Rumusan Masalah
Dalam penulisan suatu karya tulis, rumusan masalah sangtlah penting, dengan adanya rumusan masalah dapat diketahui inti persoalan sehingga dapat mengarahkan dan menegaskan dalam penulisan suatu karya tulis. Maka dari itu keputusan masalah dalam makalah yang berjudul “KEPERCAYAAN MASYARAKAT SUKU TENGGER” berdasarkan latar belakang di atas adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana Sejarah Masyarakat Suku Tengger?
2.      Bagaimana Sistem Religi Yang Dianut Masyarakat Suku Tengger?
3.      Bagaimana Masyarakat Suku Tengger Memaknai Kepercayaan-Kepercayaan Yang Terkait Dengan Alam Sekitar?
4.      Bagaimana Upacara Kasada Masyarakat Tengger?
1.3 Tujuan Penulisan
Setiap aktivitas yang dilakukan oleh seseorang tentunya mempunyai tujuan yang sesuai dengan kegiatan yang dilakukan. Apabila kegiatan yang dilakukan tidak memiliki tujuan, maka kegiatan tersebut tidak akan terarah. Oleh karena itu, tujuan dalam penulisan makalah ini berdasarkan rumusan masalah diatas yaitu:
1.      Untuk mengetahui Bagaimana sejarah Masyarakat suku Tengger
2.      Untuk mengetahui Bagaimana Sistem Religi Yang Dianut Masyarakat Suku Tengger.
3.      Untuk mengetahui Bagaimana Masyarakat Suku Tengger Memaknai Kepercayaan-Kepercayaan Yang Terkait Dengan Alam Sekitar.
4.      Untuk Mengetahui Bagaimana Upacara Kasada Masyarakat Tengger.
1.4 Metode Penulisan
Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam penulisan suatu karya tulis, tentunya digunakan metode yang tepat. Metode yang merupakan strategi atau teknik yang digunakan untuk membahas dan memecahkan suatu permasalahan. Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode pencarian  sumber materi dari internet.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Masyarakat Suku Tengger
Tengger adalah sebuah kota atau desa yang berada di bawah kaki Gunung Bromo Jawa Timur. Pada awalnya tahun 100 SM orang-orang Hindu Waisya yang beragama Brahma bertempat tinggal di pantai-pantai yang sekarang dinamakan dengan kota Pasuruan dan Probolinggo
Menurut mitos atau legenda yang berkembang di masyarakat suku Tengger, mereka berasal dari keturunan Rara  Anteng yang merupakan putri dari Raja Brawijaya dengan Jaka Seger putra seorang Brahmana. Nama suku Tengger diambil dari akhiran nama kedua pasang suami istri itu yaitu, “Teng” dari Rara Anteng dan “Ger” dari Jaka Seger. Legenda tentang Rara Anteng dan Jaka Seger yang berjanji pada Dewa untuk menyerahkan putra bungsu mereka, Raden Kusuma merupakan awal mula terjadinya upacara Kasada di Tengger.
Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. . Setelah Islam mulai masuk di Jawa pada tahun 1426 SM dan keberadaan mereka mulai terdesak maka mereka mencari daerah yang sulit dijangkau oleh manusia (pendatang) yaitu di daerah pegunungan tengger, pada akhirnya mereka membentuk kelompok yang di kenal sebagai tiang tengger (orang tengger).
2.2 Sistem Religi Yang Dianut Masyarakat Suku Tengger
Sistem religi terdiri dari dua kata yaitu Sistem dan Religi. Sistem berasal dari bahasa Latin system dan bahasa Yunani sustema adalah suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen-elemen yang saling berhubugan. Religi merupakan segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa dan sebagainya yang menempati alam
Masyarakat Tengger di Desa Ngadas memiliki kepercayaan yaitu Hindu Mahayana. Pada abad ke-16, para pemuja Brahma di Tengger kedatangan pelarian dari orang Hindu Parsi (parsi berasal dari kata Persia, yaitu “wilayah di sekitar negara Iran”). Akhirnya, orang-orang Tengger yang semula beragama Brahma beralih ke agama Parsi, yaitu agama Hindu Parsi. Perpindahan agama orang Tengger dari agama Brahma ke Hindu Parsi ternyata tidak serta merta menghilangkan seluruh kepercayaan awal mereka. Orang Tengger masih tetap melakukan ajaran Buddha. Bahkan kebiasaan ini pada akhirnya dianut juga oleh penganut Hindu Parsi. 
Ada tiga prinsip ajaran Hindu masyarakat Tengger antara lain:
1.      Pemujaan kepada Tuhan
2.      Pemujaan terhadap leluhur
3.      Pemujaan kepada alam semesta
Masyarakat Tengger mempercayai Sang Hyang Agung, roh para leluhur, hukum karma, reinkarnasi, dan moksa. Kepercayaan masyarakat Tengger terhadap roh diwujudkan sebagai danyang (makhluk halus penunggu desa) yang di puja di sebuah punden. Punden biasanya terletak di bawah pohon besar atau dibawah batu besar. Roh leluhur pendiri desa mendapatkan pemujaan yang lebih besar di sanggar pemujaan. Setahun sekali masyarakat suku tengger mengadakan upacara pemujaan roh leluhur di kawah Gunung Bromo yang disebut dengan upacara Kasada. Ajaran agama tersebut di satukan dalam sebuah kitab suci yang ditulis di atas daun lontar yang dikenal dengan nama Primbon. Sesaji dan mantra amat kental pengaruhnya dalam masyarakat suku Tengger. Masyarakat Tengger percaya bahwa mantra-mantra yang mereka pergunakan adalah mantra-mantra putih bukan mantra hitam yang sifatnya merugikan.
Secara garis besar Hindu Tengger di Desa Ngadas tidaklah jauh berbeda dengan Hindu di daerah lain. Namun ada sedikit perbedaan yang terletak pada ritual adat yang dilakukan. Selain itu masyarakat Hindu ini tidak mengenal sistem kasta atau kelas sosial dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, sebagaimana yang dianut oleh umat Hindu daerah lain. Karena adanya anggapan bahwa semua masyarakat yang tinggal di suku Tengger dianggap sama dan sejajar. Mereka juga menganggap bahwa adanya kasta hanya akan memunculkan konflik dalam masyarakat hindu yang ada di suku Tengger. Sehingga ketika bermunculan konflik maka alam tidak akan memberikan keberkahanya dalam kehidupan mereka.
Hewan sapi bagi umat agama Hindu sendiri dianggap sebagai hewan yang suci dimana pantang bagi mereka menyembelih sapi. Hal tersebut dikarenakan menurut kepercayaan mereka di dalam tenggorokan sapi merupakan tempat persembunyian dewa suci. Namun berbeda dengan kepercayaan yang di miliki oleh masyarakat Tengger Desa Ngadas, mereka menganggap sapi sebagai hewan yang tidak jauh berbeda dengan hewan ternak lainnya. Mereka tetap mengkonsumsi daging sapi dalam keseharian, misalnya diolah menjadi bakso untuk diperjual belikan. Namun untuk sesaji atau ritual, tidak diperkenankan.
Keunikan lain pada masyarakat Hindu tengger yaitu terletak pada upacara kematian. Jika selama ini kita melihat upacara kematian pada agama hindu di daerah lain dengan jasad yang di bakar, hal ini berbeda dengan agama Hindu yang ada di suku Tengger. Mereka tidak membakar jasad orang yang telah meninggal akan tetapi mereka membakar replica dari orang yang meninggal atau yang biasa mereka sebut dengan Petra. Petra adalah replika yang terbuat dari daun telotok, daun pabung, dan bunga senikir. Sedangkan jasad orang yang meninggal tetap dimakamkan seperti halnya orang yang beragama Islam tetapi dengan posisi yang berbeda. Dalam suku Tengger jasad orang yang meninggal dimakamkan dengan posisi kepala menghadap keselatan atau kegunung Bromo.
Pada halaman rumah setiap penduduk yang beragama Hindu akan diletakkan Padmasari yaitu tempat meletakan sesaji yang dipersembahkan bagi sang Atma. Atma adalah roh leluhur yang dipercaya masih hidup berdampingan dengan manusia, hanya saja tidak terlihat. Padmasari ini berisi makanan-makanan yang hari itu dimakan oleh pemilik rumah, jadi bisa dipastikan setiap rumah berbeda isinya, sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Ritual ini sebagai wujud berbagi dengan sesama, karena menurut kepercayaan mereka bahwa di dunia itu juga hidup leluhu-leluhur yang menjadi roh, dan masing membutuhkan makanan seperti yang mereka makan saat itu.
Sembahyang umat Hindu di Tengger Desa Ngadas dilaksanakan tiga kali dalam sehari, yaitu jam 05:00, 12;00, dan 19:00. Sebelum melakukan persembayangan akan di awali dulu dengan puji-pujian yang menggunakan bahasa jawa kuno. Sembahyang dilakukan di pura dan dipimpin oleh dukun pandita, sesuai dengan tuntunan kitab Weda. Di Ngadas sendiri hanya memilki satu buah pura di masing-masing dukuh, satu punden sebagai tempat yang disakralkan, serta satu kitab Weda yang dipegang oleh sang Dukun Pandita. Dalam pelaksanaan ibadah tidak ada pemaksaan dan aturan dari orang lain, murni dari kemauan sendiri. Bagi wanita yang datang bulan juga dilarang datang ke pura, karena pura merupakan tempat suci bagi mereka.
Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat untuk umum, artinya siapa saja boleh ikut, baik kecil, hingga Lansia. Kegiatan keagamaan tersebut menggunakan patokan kalender Tengger yang di buat oleh sang dukun pandita sesuai dengan aturan pemerintah serta tuntunan kitab Weda tentunya. Dalam teknis pelaksanaan segala bentuk upacara ataupun ritual keagamaan masyarakat suku tengger hanya bertugas sebagai pelaksana saja, sedangkan untuk tempat, waktu dan segala bentuk material yang diperlukan semuanya telah ada yang mengatur. Jadi disini bisa dikatakan jamaat hanya menganut, dan bisa dilihat adanya unsur ketergantungan dan rasa kepercayaan yang kuat antara umat Hindu dengan tokoh agamanya.
Masyarakat suku Tengger Desa Ngadas memilki toleransi agama yang tinggi. Hal ini terbukti, walaupun hidup berdampingan dengan desa tetangga yang mayoritas beragama Islam, tidak lantas membuat keduanya saling bersaing dan saling menjatuhkan satu sama lain. Justru keberbedaan ini mereka manfaatkan untuk mengikat persatuan dan persaudaraan yang erat. Kerukunan beragama masyarakat suku tengger ini dapat dilihat ketika perayaan Hari besar Karo, masyarakat Muslim desa tetangga akan bersilaturahim kepada masyarakat Hindu Ngadas, sedangkan ketika masyarakat Muslim Desa tetangga merayakan Idul Fitri, masyarakat Hindu Ngadas juga akan berkunjung ke Desa tetangga ini.
2.3 kepercayaan-kepercayaan Yang Terkait Dengan Alam Sekitar
Masyarakat Tengger Desa Ngadas sangat terkenal dengan kearifannya dalam kehidupan, baik dalam bersikap kepada alam maupun bersikap dengan sesamanya. Sikap taat beragama juga menjadi pendukung kearifan yang dimiliki masyarakat Tengger. Berbagai macam ritual keagamaan mereka laksanakan sesuai dengan ketentuan dan kesepakatan yang ada.
Dalam kesehariannya, masyarakat Tengger Desa Ngadas hidup berselaras dengan alam. Mereka tetap menjaga kesakralan Gunung Bromo dengan tidak merusak lingkungan, bersikap baik, dan memegang teguh adat istiadat. Orang Tengger meyakini bahwa alam akan mendatangkan bencana jika mereka tidak mau hidup selaras dengan alam. Keselarasan masyarakat Tengger dengan alam diwujudkan dengan adanya upacara yang bersifat komunal, yaitu upacara kasada. Di dalam prosesi upacara kasada, masyarakat Tengger membawa berbagai sesaji berupa berbagai hasil bumi, hasil ternak, pakaian dan berbagai kebutuhan lainnya. Sesaji-sesaji tersebut sesuai dengan permintaan dari Raden Kusumo, yaitu putra dari Roro Anteng dan Joko Seger yang telah mengorbankan dirinya untuk kesejahteraan dan keselamatan masyarakat Tengger, agar Raden Kusumo dapat juga merasakannya, sebagaimana yang dirasakan oleh orang-orang yang masih hidup di dunia. Diberikannya persembahan tersebut, dipercaya segala permintaan masyarakat Tengger akan dikabulkan.
Suku tengger Desa Ngadas ini juga rukun dalam bermasyarakat, terbukti ketika ada salah satu warga yang memiliki hajat, warga yang lain akan sambatan atau disebut sinoman. Hal tersebut menujukan bahwa nilai kerjasama masih dianut kuat oleh mereka, yaitu dalam praktik gotong royong.
Masyarakat suku Tengger Desa Ngadas ini merupakan masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat mereka. Bahkan mereka percaya dengan adanya hukum karma, bahwa “becik ketitik, ala ketara”. Ketika seseorang melakukan hal-hal buruk atau hal yang menjadi pantangan terhadap sesame maupun alam sekitar, meski tanpa sepengetahuan orang lain, maka dengan sendirinya orang yang melanggar ini akan mendapatkan balasan dari Sang penjaga alam, atau yang menunggui tanpa adanya unsur campur tangan manusia lain.
Sistem hukum karma atas apa yang mereka lakukan bisa berwujud pada kesialan kesialan yang mereka dapatkan ketika mereka melakukan sebuah larangan terhadap hukum adat yang ada, seperti halnya orang yang berbuat “tidak baik” di kawasan gunung Bromo yang disucikan oleh masyarakat Tengger. seperti buang air kecil di gunung bromo sembarangan,bicara dusta seperti pura-pura sakit perut padahal tidak sakit perut.
Masyarakat Tengger Desa Ngadas sering melaksanakan ritual-ritual keagamaan yang sebagian besar dilakukan sebagai wujud syukur terhadap Sang Pencipta dan alam yang telah memberikan kehidupan yang makmur dan sejahtera bagi mereka. Ritual-ritual tersebut antara lain adalah ritual bersih desa setiap sebulan sekali yang akan dilaksanakan di rumah Kepala Desa
Dalam setiap pelaksanaan ritual keagamaan, tentu akan dibuatkan sesaji. Sesaji-sesaji ini bermacam-macam jenisnya, dan mempunyai makna masing-masing. Salah satu unsur yang akan menimbulkan makna yang berlainan dari sesaji adalah dalam hal warna. Pada pembuatan sesaji masing-masing warna memilki lambang yang berartikan berbeda dengan yang lainya.
2.4 Upacara Kasada Masyarakat Tengger
Hari Raya Yadya Kasada adalah sebuah hari upacara sesembahan berupa persembahan sesajen kepada Sang Hyang Widhi. Setiap bulan Kasada hari-14 dalam Penanggalan Jawa diadakan upacara sesembahan atau sesajen untuk Sang Hyang Widhi dan para leluhur, kisah Rara Anteng (Putri Raja Majapahit) dan Jaka Seger (Putra Brahmana) "asal mula suku Tengger di ambil dari nama belakang keduanya", pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, yang mempunyai arti “Penguasa Tengger yang Budiman”. Mereka tidak di karunia anak sehingga mereka melakukan semedi atau bertapa kepada Sang Hyang Widhi, tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo.
Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orangtua tetaplah tidak tega bila kehilangan putra-putrinya. Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bomo menyemburkan api.
Raden Kesuma adalah anak bungsu dari pasangan Rara Anteng Dan Jaka seger yang rela mengobankan dirinya untuk menceburkan diri ke kawah Gunung Bromo, hal tersebut dilakukan karena beliau ingin agar masyarakatnya hidup sejahtera. Setelah anak bungsunya mereka lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Raden Kesuma terdengarlah suara gaib, "Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orangtua kita dan Sang Hyang Widhi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Sang Hyang Widhi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Sang Hyang Widhi di kawah Gunung Bromo". Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.
Poten merupakan sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu, poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga mandala.


Adapun ketiga mandala tersebut dibagi sebagai berikut:
1.      Mandala utama
Mandala Utama disebut juga jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan
2.    Mandala Madya
Mandala Madya disebut juga jaba tengah, tempat persiapan dan pengiring upacara.
2.      Mandala Nista
Mandala Nista disebut juga jaba sisi yaitu tempat peralihan dari luar ke dalam pura.













BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penulisan makalah diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa, sistem religi masyarakat Tengger di desa Ngadas secara ideologis tidak ada perbedaan dengan ajaran-ajaran Hindu yang ada di daerah lain, akan tetapi secara sosiologis dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tengger di desa Ngadas mempraktikan Hindu dengan cara yang berbeda. Antara lain : dalam pemaknaan hewan suci sapi, sistem kasta, tradisi sunat serta upacara kematian.
Kemudian kepercayaan-kepercayaan yang terkait dengan alam bagi masyarakat Tengger Ngadas, diwujudkan dengan adanya budaya masyarakat Tengger dalam memberikan sesaji-sesaji di padmasari yang berada di depan rumah setiap penduduk, dan puncaknya adalah dalam perayaan upacara kasada. Upacara kasada merupakan ritual yang dilakukan oleh masyarakat Tengger dan dipersembahkan untuk alam supaya diberikan lahan pertanian yang subur, keselamatan, kesejahteraan, dan keberkahan dari Tuhan.
3.2 Saran
Berdasarkan penulisan makalah diatas, penulis menyarankan supaya kita sebagai umat yang berbangsa dan bernegara, seharusnya selain menjalankan kebiasaan-kebiasaan kita sendiri khususnya dalam menjalankan kebisasaan dan kebudayaan dalam beragama, kita juga seharusnya mempelajari kebiasaan-kebiasaan suku agama lain, guna untuk menambah pengetahuan dan wawasan. Karena dalam menghargai kebiasaan orang lain kia tidak harus praktek langsung, tetapi dengan cara mengerti adat mereka, sudah sama halnya dengan menghargai mereka.


SUMBER-SUMBER




Comments

Popular posts from this blog

JALAN KELEPASAN MENURUT JNANA SIDDHANTA

YADNYA SESA

Tradisi Daerah yang Terkait dengan Animisme dan Dinamisme