kepercayaan masyarakat suku tengger
TUGAS
PENGANTAR TEOLOGI
KEPERCAYAAN
MASYARAKAT SUKU TENGGER

OLEH:
NAMA :
NI KADEK SRI AGUSTINI
NIM :
15.1.4.5.1.016
FAKULTAS :
BRAHMA WIDYA
JURUSAN :
TEOLOGI
PRODI :
TEOLOGI HINDU
JENJANG :
S1
SEMETER :
1 / PAGI
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2015
KATA
PENGANTAR
Om
Swastyastu
Om
Ano Badrah Kratawu Yantu Wiswatah
“Semoga pikiran yang
baik datang dari segala penjuru”
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, karena Atas Asung Kerta Wara Nugraha Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, maka penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “KEPERCAYAAN MASYARAKAT
SUKU TENGGER” tepat pada waktu yang telah diberikan.
Penulis menyadari sepenuhnya atas
adanya keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh penulis dalam
menulis paper ini, sehingga hasilnya pun balum bisa dikatakan sempurna, oleh
karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan guna untuk kesempurnaan
penulisan berikutnya.
Penulis mohon maaf apabila dalam
penulisan makalah ini banyak terdapat kesalahan dan kekurangan yang tentunya
tidak ada faktor kesengajaan. Semoga dengan adanya makalah ini, bisa bermanfaat
untuk kita bersama, baik masa sekarang maupun masa yang akan datang.
Om Santih, Santih, Santih, Om
|
Denpasar,
5 Desember 2015
Penulis,
(Ni
Kadek Sri Agustini)
|
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR
ISI .............................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1
Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3
Tujuan Penulisan ................................................................................... 2
1.4
Metode Penulisan .................................................................................. 2
BAB
II PEMBAHASAN ........................................................................... 3
2.1
Sejarah Masyarakat Suku Tengger ........................................................ 3
2.2
Sistem Religi Yang Dianut Masyarakat Suku Tengger ......................... 3
2.3
Kepercayaan-kepercayaan Yang Terkait Dengan Alam Sekitar ........... 7
2.4
Upacara Kasada Masyarakat Tengger ................................................... 8
BAB
III PENUTUP ................................................................................... 11
3.1
Simpulan ............................................................................................... 11
3.2
Saran ..................................................................................................... 11
SUMBER-SUMBER
.................................................................................. 12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Suku Bangsa Tengger adalah salah satu Suku Bangsa yang berada di
wilayah Indonesia. Nama Tengger berasal dari kata Legenda Rara Anteng dan Jaka
Seger yang telah diyakini sebagai asal usul nama Tengger, yaitu “Teng” akhiran
nama Rara An-“teng” dan “ger” akhiran nama dari Jaka Se-“ger”.
Masyarakat ini dikenal memilki sistem religi dan kepercayaan masih
cukup kental. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya upacara- upacara adat
yang biasa mereka lakukan sejak zaman nenek moyang hingga saat ini. Meskipun
hidup pada era globalisasi seperti saat ini, masyarakat Tengger di Desa Ngadas
masih mempertahankan tradisi-tradisi yang berasal dari para leluhur, sehingga
rasa kekeluargaan dan rasa saling memilki terhadap apa yang sudah diwariskan
masih sangat tinggi.
Masyarakat suku Tengger khususnya masyarakat yang berdomisili di
Desa Ngadas mayoritas adalah pemeluk agama Hindu. Mereka melaksanakan berbagai
ritual keagamaan dengan alasan bahwa hal tersebut telah menjadi kewajiban dan
sebagai wujud bakti kepada Dewa atau Tuhannya. Bahkan sebagai wujud untuk
mendapatkan satisfaction of spiritual secara pribadi, dan bagi mereka
melakukan upacara-upacara adat adalah suatu kewajiban sosial.
Sistem
religi atau kepercayaan dan adat istiadat masyarakat Tengger masih cukup kental
serta terjaga kelestariannya. Hal tersebutlah yang menjadi daya tarik kami
untuk mengkaji sistem religi atau kepercayaan masyarakat Suku Tengger,
khususnya di Desa Ngadas (http://blog.unnes.ac.id/nuufidwati/2015/11/05/tentang-masyarakat-tengger/
) .
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penulisan suatu karya tulis,
rumusan masalah sangtlah penting, dengan adanya rumusan masalah dapat diketahui
inti persoalan sehingga dapat mengarahkan dan menegaskan dalam penulisan suatu
karya tulis. Maka dari itu keputusan masalah dalam makalah yang berjudul “KEPERCAYAAN
MASYARAKAT SUKU TENGGER” berdasarkan latar belakang di atas adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
Sejarah Masyarakat Suku Tengger?
2. Bagaimana
Sistem Religi Yang Dianut Masyarakat Suku Tengger?
3. Bagaimana
Masyarakat Suku Tengger Memaknai Kepercayaan-Kepercayaan Yang Terkait Dengan Alam
Sekitar?
4. Bagaimana
Upacara Kasada Masyarakat Tengger?
1.3 Tujuan
Penulisan
Setiap aktivitas yang dilakukan
oleh seseorang tentunya mempunyai tujuan yang sesuai dengan kegiatan yang
dilakukan. Apabila kegiatan yang dilakukan tidak memiliki tujuan, maka kegiatan
tersebut tidak akan terarah. Oleh karena itu, tujuan dalam penulisan makalah
ini berdasarkan rumusan masalah diatas yaitu:
1. Untuk
mengetahui Bagaimana sejarah Masyarakat suku Tengger
2. Untuk
mengetahui Bagaimana Sistem Religi Yang Dianut Masyarakat Suku Tengger.
3. Untuk
mengetahui Bagaimana Masyarakat Suku Tengger Memaknai Kepercayaan-Kepercayaan
Yang Terkait Dengan Alam Sekitar.
4. Untuk
Mengetahui Bagaimana Upacara Kasada Masyarakat Tengger.
1.4 Metode
Penulisan
Untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam penulisan suatu karya tulis, tentunya digunakan metode yang
tepat. Metode yang merupakan strategi atau teknik yang digunakan untuk membahas
dan memecahkan suatu permasalahan. Dalam penulisan makalah ini, penulis
menggunakan metode pencarian sumber
materi dari internet.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Masyarakat Suku Tengger
Tengger adalah sebuah kota atau desa
yang berada di bawah kaki Gunung Bromo Jawa Timur. Pada awalnya tahun 100 SM
orang-orang Hindu Waisya yang beragama Brahma bertempat tinggal di
pantai-pantai yang sekarang dinamakan dengan kota Pasuruan dan Probolinggo
Menurut mitos atau legenda yang
berkembang di masyarakat suku Tengger, mereka berasal dari keturunan Rara Anteng yang merupakan putri dari Raja
Brawijaya dengan Jaka Seger putra seorang Brahmana. Nama suku Tengger diambil
dari akhiran nama kedua pasang suami istri itu yaitu, “Teng” dari Rara Anteng
dan “Ger” dari Jaka Seger. Legenda tentang Rara Anteng dan Jaka Seger yang
berjanji pada Dewa untuk menyerahkan putra bungsu mereka, Raden Kusuma
merupakan awal mula terjadinya upacara Kasada di Tengger.
Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. . Setelah Islam mulai masuk di Jawa pada tahun 1426 SM dan keberadaan mereka mulai terdesak maka mereka mencari daerah yang sulit dijangkau oleh manusia (pendatang) yaitu di daerah pegunungan tengger, pada akhirnya mereka membentuk kelompok yang di kenal sebagai tiang tengger (orang tengger).
Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. . Setelah Islam mulai masuk di Jawa pada tahun 1426 SM dan keberadaan mereka mulai terdesak maka mereka mencari daerah yang sulit dijangkau oleh manusia (pendatang) yaitu di daerah pegunungan tengger, pada akhirnya mereka membentuk kelompok yang di kenal sebagai tiang tengger (orang tengger).
2.2 Sistem
Religi Yang Dianut Masyarakat Suku Tengger
Sistem religi terdiri dari dua kata yaitu Sistem dan Religi. Sistem
berasal dari bahasa Latin system dan bahasa Yunani sustema
adalah suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen-elemen yang saling
berhubugan. Religi merupakan segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai
suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan
mahluk-mahluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa dan sebagainya yang menempati
alam
Masyarakat Tengger di Desa Ngadas
memiliki kepercayaan yaitu Hindu Mahayana. Pada abad ke-16, para pemuja Brahma
di Tengger kedatangan pelarian dari orang Hindu Parsi (parsi berasal dari kata
Persia, yaitu “wilayah di sekitar negara Iran”). Akhirnya, orang-orang Tengger
yang semula beragama Brahma beralih ke agama Parsi, yaitu agama Hindu Parsi. Perpindahan
agama orang Tengger dari agama Brahma ke Hindu Parsi ternyata tidak serta merta
menghilangkan seluruh kepercayaan awal mereka. Orang Tengger masih tetap
melakukan ajaran Buddha. Bahkan kebiasaan ini pada akhirnya dianut juga oleh
penganut Hindu Parsi.
Ada tiga prinsip ajaran Hindu masyarakat
Tengger antara lain:
1. Pemujaan kepada Tuhan
2. Pemujaan terhadap leluhur
3. Pemujaan kepada alam semesta
Masyarakat Tengger mempercayai Sang
Hyang Agung, roh para leluhur, hukum karma, reinkarnasi, dan moksa. Kepercayaan
masyarakat Tengger terhadap roh diwujudkan sebagai danyang (makhluk
halus penunggu desa) yang di puja di sebuah punden. Punden
biasanya terletak di bawah pohon besar atau dibawah batu besar. Roh leluhur
pendiri desa mendapatkan pemujaan yang lebih besar di sanggar pemujaan. Setahun
sekali masyarakat suku tengger mengadakan upacara pemujaan roh leluhur di kawah
Gunung Bromo yang disebut dengan upacara Kasada. Ajaran agama tersebut di
satukan dalam sebuah kitab suci yang ditulis di atas daun lontar yang dikenal
dengan nama Primbon. Sesaji dan mantra amat kental pengaruhnya dalam
masyarakat suku Tengger. Masyarakat Tengger percaya bahwa mantra-mantra yang
mereka pergunakan adalah mantra-mantra putih bukan mantra hitam yang sifatnya
merugikan.
Secara garis besar Hindu Tengger di Desa Ngadas tidaklah jauh
berbeda dengan Hindu di daerah lain. Namun ada sedikit perbedaan yang terletak
pada ritual adat yang dilakukan. Selain itu masyarakat Hindu ini tidak mengenal
sistem kasta atau kelas sosial dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat,
sebagaimana yang dianut oleh umat Hindu daerah lain. Karena adanya anggapan
bahwa semua masyarakat yang tinggal di suku Tengger dianggap sama dan sejajar.
Mereka juga menganggap bahwa adanya kasta hanya akan memunculkan konflik dalam
masyarakat hindu yang ada di suku Tengger. Sehingga ketika bermunculan konflik
maka alam tidak akan memberikan keberkahanya dalam kehidupan mereka.
Hewan sapi bagi umat agama Hindu sendiri dianggap sebagai hewan yang
suci dimana pantang bagi mereka menyembelih sapi. Hal tersebut dikarenakan
menurut kepercayaan mereka di dalam tenggorokan sapi merupakan tempat
persembunyian dewa suci. Namun berbeda dengan kepercayaan yang di miliki oleh
masyarakat Tengger Desa Ngadas, mereka menganggap sapi sebagai hewan yang tidak
jauh berbeda dengan hewan ternak lainnya. Mereka tetap mengkonsumsi daging sapi
dalam keseharian, misalnya diolah menjadi bakso untuk diperjual belikan. Namun
untuk sesaji atau ritual, tidak diperkenankan.
Keunikan lain pada masyarakat Hindu tengger yaitu terletak pada
upacara kematian. Jika selama ini kita melihat upacara kematian pada agama
hindu di daerah lain dengan jasad yang di bakar, hal ini berbeda dengan agama
Hindu yang ada di suku Tengger. Mereka tidak membakar jasad orang yang telah
meninggal akan tetapi mereka membakar replica dari orang yang meninggal atau
yang biasa mereka sebut dengan Petra. Petra adalah replika yang terbuat dari
daun telotok, daun pabung, dan bunga senikir. Sedangkan jasad orang yang
meninggal tetap dimakamkan seperti halnya orang yang beragama Islam tetapi
dengan posisi yang berbeda. Dalam suku Tengger jasad orang yang meninggal
dimakamkan dengan posisi kepala menghadap keselatan atau kegunung Bromo.
Pada halaman rumah setiap penduduk yang beragama Hindu akan
diletakkan Padmasari yaitu tempat meletakan sesaji yang dipersembahkan bagi
sang Atma. Atma adalah roh leluhur yang dipercaya masih hidup berdampingan
dengan manusia, hanya saja tidak terlihat. Padmasari ini berisi makanan-makanan
yang hari itu dimakan oleh pemilik rumah, jadi bisa dipastikan setiap rumah
berbeda isinya, sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Ritual ini
sebagai wujud berbagi dengan sesama, karena menurut kepercayaan mereka bahwa di
dunia itu juga hidup leluhu-leluhur yang menjadi roh, dan masing membutuhkan
makanan seperti yang mereka makan saat itu.
Sembahyang umat Hindu di Tengger Desa Ngadas dilaksanakan tiga kali
dalam sehari, yaitu jam 05:00, 12;00, dan 19:00. Sebelum melakukan
persembayangan akan di awali dulu dengan puji-pujian yang menggunakan bahasa
jawa kuno. Sembahyang dilakukan di pura dan dipimpin oleh dukun pandita, sesuai
dengan tuntunan kitab Weda. Di Ngadas sendiri hanya memilki satu buah pura di
masing-masing dukuh, satu punden sebagai tempat yang disakralkan, serta satu
kitab Weda yang dipegang oleh sang Dukun Pandita. Dalam pelaksanaan ibadah
tidak ada pemaksaan dan aturan dari orang lain, murni dari kemauan sendiri. Bagi
wanita yang datang bulan juga dilarang datang ke pura, karena pura merupakan
tempat suci bagi mereka.
Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat untuk umum,
artinya siapa saja boleh ikut, baik kecil, hingga Lansia. Kegiatan keagamaan
tersebut menggunakan patokan kalender Tengger yang di buat oleh sang dukun
pandita sesuai dengan aturan pemerintah serta tuntunan kitab Weda tentunya.
Dalam teknis pelaksanaan segala bentuk upacara ataupun ritual keagamaan
masyarakat suku tengger hanya bertugas sebagai pelaksana saja, sedangkan untuk
tempat, waktu dan segala bentuk material yang diperlukan semuanya telah ada
yang mengatur. Jadi disini bisa dikatakan jamaat hanya menganut, dan bisa
dilihat adanya unsur ketergantungan dan rasa kepercayaan yang kuat antara umat
Hindu dengan tokoh agamanya.
Masyarakat suku Tengger Desa Ngadas memilki toleransi agama yang
tinggi. Hal ini terbukti, walaupun hidup berdampingan dengan desa tetangga yang
mayoritas beragama Islam, tidak lantas membuat keduanya saling bersaing dan
saling menjatuhkan satu sama lain. Justru keberbedaan ini mereka manfaatkan
untuk mengikat persatuan dan persaudaraan yang erat. Kerukunan beragama
masyarakat suku tengger ini dapat dilihat ketika perayaan Hari besar Karo,
masyarakat Muslim desa tetangga akan bersilaturahim kepada masyarakat Hindu
Ngadas, sedangkan ketika masyarakat Muslim Desa tetangga merayakan Idul Fitri,
masyarakat Hindu Ngadas juga akan berkunjung ke Desa tetangga ini.
2.3 kepercayaan-kepercayaan Yang Terkait Dengan Alam
Sekitar
Masyarakat Tengger Desa Ngadas sangat terkenal dengan kearifannya
dalam kehidupan, baik dalam bersikap kepada alam maupun bersikap dengan
sesamanya. Sikap taat beragama juga menjadi pendukung kearifan yang dimiliki
masyarakat Tengger. Berbagai macam ritual keagamaan mereka laksanakan sesuai
dengan ketentuan dan kesepakatan yang ada.
Dalam kesehariannya, masyarakat Tengger Desa Ngadas hidup
berselaras dengan alam. Mereka tetap menjaga kesakralan Gunung Bromo dengan
tidak merusak lingkungan, bersikap baik, dan memegang teguh adat istiadat.
Orang Tengger meyakini bahwa alam akan mendatangkan bencana jika mereka tidak
mau hidup selaras dengan alam. Keselarasan masyarakat Tengger dengan alam
diwujudkan dengan adanya upacara yang bersifat komunal, yaitu upacara kasada.
Di dalam prosesi upacara kasada, masyarakat Tengger membawa berbagai sesaji
berupa berbagai hasil bumi, hasil ternak, pakaian dan berbagai kebutuhan
lainnya. Sesaji-sesaji tersebut sesuai dengan permintaan dari Raden Kusumo,
yaitu putra dari Roro Anteng dan Joko Seger yang telah mengorbankan dirinya
untuk kesejahteraan dan keselamatan masyarakat Tengger, agar Raden Kusumo dapat
juga merasakannya, sebagaimana yang dirasakan oleh orang-orang yang masih hidup
di dunia. Diberikannya persembahan tersebut, dipercaya segala permintaan
masyarakat Tengger akan dikabulkan.
Suku tengger Desa Ngadas ini juga rukun dalam bermasyarakat,
terbukti ketika ada salah satu warga yang memiliki hajat, warga yang lain akan sambatan
atau disebut sinoman. Hal tersebut menujukan bahwa nilai
kerjasama masih dianut kuat oleh mereka, yaitu dalam praktik gotong royong.
Masyarakat suku Tengger Desa Ngadas ini merupakan masyarakat yang
masih memegang teguh adat istiadat mereka. Bahkan mereka percaya dengan adanya
hukum karma, bahwa “becik ketitik, ala ketara”. Ketika seseorang
melakukan hal-hal buruk atau hal yang menjadi pantangan terhadap sesame maupun
alam sekitar, meski tanpa sepengetahuan orang lain, maka dengan sendirinya
orang yang melanggar ini akan mendapatkan balasan dari Sang penjaga alam, atau
yang menunggui tanpa adanya unsur campur tangan manusia lain.
Sistem hukum karma atas apa yang mereka lakukan bisa berwujud pada
kesialan kesialan yang mereka dapatkan ketika mereka melakukan sebuah larangan
terhadap hukum adat yang ada, seperti halnya orang yang berbuat “tidak baik” di
kawasan gunung Bromo yang disucikan oleh masyarakat Tengger. seperti buang air
kecil di gunung bromo sembarangan,bicara dusta seperti pura-pura sakit perut
padahal tidak sakit perut.
Masyarakat Tengger Desa Ngadas sering melaksanakan ritual-ritual
keagamaan yang sebagian besar dilakukan sebagai wujud syukur terhadap Sang
Pencipta dan alam yang telah memberikan kehidupan yang makmur dan sejahtera
bagi mereka. Ritual-ritual tersebut antara lain adalah ritual bersih desa
setiap sebulan sekali yang akan dilaksanakan di rumah Kepala Desa
Dalam setiap pelaksanaan ritual keagamaan, tentu akan dibuatkan
sesaji. Sesaji-sesaji ini bermacam-macam jenisnya, dan mempunyai makna
masing-masing. Salah satu unsur yang akan menimbulkan makna yang berlainan dari
sesaji adalah dalam hal warna. Pada pembuatan sesaji masing-masing warna
memilki lambang yang berartikan berbeda dengan yang lainya.
2.4 Upacara Kasada Masyarakat Tengger
Hari
Raya Yadya Kasada adalah sebuah hari upacara sesembahan berupa persembahan sesajen kepada
Sang Hyang Widhi. Setiap bulan Kasada hari-14 dalam Penanggalan Jawa diadakan upacara sesembahan atau
sesajen untuk Sang
Hyang Widhi dan para
leluhur, kisah Rara Anteng (Putri Raja Majapahit) dan Jaka Seger (Putra Brahmana) "asal mula suku Tengger di ambil dari nama belakang
keduanya", pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman
dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat
Ing Tengger, yang mempunyai arti “Penguasa Tengger yang Budiman”. Mereka tidak
di karunia anak sehingga mereka melakukan semedi atau bertapa kepada Sang Hyang
Widhi, tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan
terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu
harus dikorbankan ke kawah Gunung
Bromo.
Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian
didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orangtua tetaplah tidak tega
bila kehilangan putra-putrinya. Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger
ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka,
kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bomo
menyemburkan api.
Raden Kesuma adalah anak bungsu dari pasangan Rara Anteng Dan Jaka
seger yang rela mengobankan dirinya untuk menceburkan diri ke kawah Gunung
Bromo, hal tersebut dilakukan karena beliau ingin agar masyarakatnya hidup
sejahtera. Setelah anak bungsunya mereka lenyap dari pandangan terjilat api dan
masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Raden Kesuma terdengarlah suara gaib,
"Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orangtua kita
dan Sang Hyang Widhi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram,
sembahlah Sang Hyang Widhi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada
hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Sang Hyang Widhi di kawah Gunung
Bromo". Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger
dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung
Bromo.
Poten merupakan sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat
berlangsungnya upacara Kasada. Sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger
yang beragama Hindu, poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam
suatu susunan komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga mandala.
Adapun ketiga mandala tersebut dibagi sebagai berikut:
1.
Mandala utama
Mandala Utama disebut juga jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan
persembahyangan
2. Mandala Madya
Mandala Madya disebut juga jaba
tengah, tempat persiapan dan pengiring upacara.
2.
Mandala Nista
Mandala Nista disebut juga jaba
sisi yaitu tempat peralihan dari luar ke dalam pura.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penulisan makalah diatas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa, sistem religi masyarakat Tengger di desa Ngadas secara
ideologis tidak ada perbedaan dengan ajaran-ajaran Hindu yang ada di daerah
lain, akan tetapi secara sosiologis dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tengger
di desa Ngadas mempraktikan Hindu dengan cara yang berbeda. Antara lain : dalam
pemaknaan hewan suci sapi, sistem kasta, tradisi sunat serta upacara kematian.
Kemudian kepercayaan-kepercayaan yang terkait dengan alam bagi
masyarakat Tengger Ngadas, diwujudkan dengan adanya budaya masyarakat Tengger
dalam memberikan sesaji-sesaji di padmasari yang berada di depan rumah setiap
penduduk, dan puncaknya adalah dalam perayaan upacara kasada. Upacara kasada
merupakan ritual yang dilakukan oleh masyarakat Tengger dan dipersembahkan
untuk alam supaya diberikan lahan pertanian yang subur, keselamatan,
kesejahteraan, dan keberkahan dari Tuhan.
3.2 Saran
Berdasarkan penulisan makalah
diatas, penulis menyarankan supaya kita sebagai umat yang berbangsa dan
bernegara, seharusnya selain menjalankan kebiasaan-kebiasaan kita sendiri
khususnya dalam menjalankan kebisasaan dan kebudayaan dalam beragama, kita juga
seharusnya mempelajari kebiasaan-kebiasaan suku agama lain, guna untuk menambah
pengetahuan dan wawasan. Karena dalam menghargai kebiasaan orang lain kia tidak
harus praktek langsung, tetapi dengan cara mengerti adat mereka, sudah sama
halnya dengan menghargai mereka.
SUMBER-SUMBER
Comments
Post a Comment